Kategori : Cerpen
Oleh : DAMHURI MUHAMMAD
Di masa silam, anjing itu tak
lebih dari anjing biasa, milik seorang tuan yang sedang mendalami ilmu hitam.
Puncak kedigdayaan ilmu hitam itu adalah hidup abadi, alias tak bisa
mati. Namun, setiap kaji-penghabisan tentulah membutuhkan pengujian, agar pencapaiannya
benar-benar tak diragukan. Maka, pada suatu malam keramat, ia menggorok leher
anjingnya hingga putus dari batang leher, dan kepala hewan itu menggelinding
seperti buah mumbang jatuh dari pohon. Sebelum penyembelihan, ia memasang jimat
di ekor anjingnya, disertai mantra gaib yang hanya bisa dilafalkan oleh
pengikut jalan sesat seperti dirinya. Ia tidak bermaksud membunuh anjing
kesayangannya, karena ia hanya sedang membuktikan kedahsyatan ilmu yang telah
sempurna dikuasainya.
Sembari menungu jasad anjing tanpa kepala benar-benar tergeletak sebagai
bangkai, dengan pisau yang sama, ia menyembelih leher sendiri. Juga putus, dan
sebutir kepala menggelinding tak jauh dari kepala anjingnya. Dengan tangan
bergelimang darah, ia memungut masing-masing kepala untuk dipasang ke
masing-masing badan. Celakanya, tuan itu keliru. Ia menancapkan kepalanya ke
leher anjing. Sebaliknya, meletakkan kepala anjing ke batang lehernya, hingga
pada malam itu terwujudlah seekor anjing berkepala manusia, dan seorang manusia
berkepala anjing. Seketika, kedua makhluk ganjil yang tak direncanakan itu
melesat lari menuju arah yang berlawanan. Dan, selama bermusim-musim mereka
tidak pernah bertemu.
Puluhan tahun kemudian, dimalam gelap-bulan orang-orang kampong Lubuktusuk
mendengar bunyi gemerincing rantai akibat gesekan-gesekan dengan kerikil jalan.
Anjing berkepala manusia dipercayai
sedang berkeliling kampong, mencari kepalanya yang telah berpindah ke lain
tubuh. Gemerincing itu mengerikan. Orang yang terbilang paling berani
berhadapan dengan jinaku atau hantu-belau sekalipun, bila mendengarnya tetap
saja gamang. Ketimbang turun, dan
memeriksa asal bunyi ke halaman, ia lebih memilih merapatkan selimut kain
sarung. Bagi yang terbangun, akan berupaya tidur kembali hingga terbebas dari
mendengar bunyi itu. “Hantu pemburu”, begitu mereka menamainya. Bukan pemburu
babi, sebagaimana anjing-anjing biasa, tapi pemburu kepala sendiri, yang sudah
hilang selama berpuluh-puluh tahun.
***
Kenapa mereka hanya memercayai bahwa yang beralih-rupa menjadi hantu
adalah anjing berkepala manusia? Kemana perginya tuan pemilik anjing yang sudah
pula beralih-wujud menjadi manusia berkepala anjing? Bukankah beberapa saat
menjelang subuh, di kampong itu juga terdengar suara lolongan yang meremangkan
segala macam bulu? Lolongan yang tersimak bagai rintihan kesakitan, dan sekali
waktu terdengar bagai isyarat meminta pertolongan. Apakah tidak ada kemungkinan
bahwa suara itu datang dari mulut manusia berkepala anjing? Tak ada yang
berpikir sejauh itu. Mereka menganggap tuan pemilik anjing telah raib sejak
peristiwa malam keramat. Perihal kehilangan itu, ada dua riwayat yang tertanam
di Lubuktusuk.
Pertama, selepas malam celaka itu, tuan yang setelah diurai silsilahnya
ternyata bernama Tungkirang, hengkang dari Lubuktusuk. Mustahil ia bertahan di kampung
dengan gelar “anjing” di belakang namanya, dan lebih tak mungkin lagi,
mempertontonkan tabiat anjing di tengah-tengah kampung. Ia bertolak ke selatan,
menuju rimba Puncak Secupak, hutan pekat yang pada masa itu belum terjamah. Di
sana ia membuat sarang yang tersuruk di kedalaman belukar. Dimangsainya segala
macam hewan berdaging, mulai dari babi, kijang, hingga ular dan biawak. Tatkala
rimba Puncak Sicupak mulai dijejaki orang, beberapa pencari kayu gaharu
dikabarkan hilang di sana. Konon, mereka diterkam oleh Tungkirang, manusia
berkepala anjing. Itu sebabnya, di masa kini, orang-orang yang bepergian
melewati Puncak Sicupak, melepaskan seekor anak ayam ke dalam rimbun semak,
sebagai penghormatan pada Tungkirang.
Kedua, Tungkirang bertolak ke kota. Zaman itu, jalan belum diaspal, dan
setiap perjalanan masih ditempuh dengan pedati, atau berjalan kaki. Namun
Tungkirang menapakinya dengan berlari secepat mungkin. Siang ia bersembunyi di
tempat-tempat sepi, dan bila malam tiba ia kembali berlari, dan berlari.
Begitulah pengembaraannya dari satu kota ke kota lain, dari tahun ke tahun,
hingga tibalah ia di sebuah kota besar yang kini menjadi kiblat para perantau.
Di kota itu Tungkirang diselamatkan oleh seorang lelaki yang kelak ditakdirkan menjadi
penguasa. Lantaran budi-baiknya, Tungkirang menghamba sebagai anjing istana.
Dengan ketajaman penciuman yang menakjubkan, ia mengendus setiap muslihat yang
hendak menjatuhkan kuasa tuannya. Suatu ketika, tuannya tertuduh sebagai otak
di balik skandal penggelapan uang negara, yang bila terbukti bakal
menggulingkan kekuasaannya. Di sinilah kehebatan Tungkirang diperlukan. Setiap
gelagat yang mengungkit-ungkit keterlibatan tuan itu sudah diendusnya lebih
dulu, dan lekas dilaporkannya. Tak ada yang luput dari pengendusan manusia
berkepala anjing, hingga tuannya nyaris tak tersentuh. Ia berlumur dosa, namun
tampak suci, bagai tanpa noda. Tanpa Tungkirang, tentu ia sudah meringkuk di
penjara. Itu sebabnya, musuh-musuh tuan besar terus bersiasat guna menaklukkan
Tungkirang, atau sekalian melenyapkannya bila perlu.
Seorang peramal yang dipekerjakan oleh salah satu musuh tuan besar
menyarankan: “Satu-satunya cara melumpuhkan anjing itu adalah mengembalikannya
menjadi manusia.”
“Bagaimana caranya?”
“Bius. Lalu, culik!”
“Tuan baru berpikir akan mencelakainya, Tungkirang sudah tahu. Ia lebih
licin dari intel paling lihai sekalipun.”
Dengan kemampuan gaib tingkat tinggi, peramal dapat menjelaskan asal
mula anjing istana itu. Tersebutlah sebuah kampung bernama Lubuktusuk. Banyak
yang ragu, banyak pula yang bersetuju. Tapi demi tegaknya keadilan, dikirimlah
utusan guna mencari makhluk berwujud anjing berkepala manusia.
***
Orang-orang Lubuktusuk tidak perlu takut lagi pada gemerincing rantai
yang dulu mengancam di malam gelap-bulan. Sebab, anjing berkepala manusia sudah
tertangkap. Rantai itu kini berada di genggaman lelaki pencari madu-lebah
bernama Tembiluk. Orang-orang Lubuktusuk menamainya “manusia rimba” karena
lebih kerap tinggal di hutan ketimbang menghuni rumahnya di kampung Lubuktusuk.
Ia hanya akan turun ke kampung bila madu-lebah hasil panjatannya sudah cukup
untuk dijual ke pasar. Atau bila ada panggilan darurat dari tetua kampung
karena ada persoalan genting yang tak terselesaikan. Misalnya, ada jagoan yang
memeras petani-petani karet, atau sekadar menggertak orang-orang yang diam-diam
menjual getah karet ke luar Lubuktusuk ketimbang pada tengkulak induk-semang
mereka.
Para jagoan itu sukar ditaklukkan lantaran rata-rata mereka adalah para
pengguna ilmu sesat yang sudah pasti kebal senjata. Orang yang sanggup meladeni
ancaman itu hanya Tembiluk. Sudah tak terhitung begundal yang ia patahkan tiada
ampun. Baginya, tidak ada orang yang benar-benar kebal. Tak bisa ditikam dengan
pisau atau lading, dengan ilalang atau butiran padi ia menusuknya. Bila tak
mempan, ia akan mengerahkan kesaktian paling ampuh; meneriakkan sebuah mantra
di pangkal telinga musuh. Keparat pengacau seketika akan menggigil ketakutan
dan lari terkangkang-kangkang. “Seumur-umur ia tidak akan berani lagi
menginjakkan kaki di kampung ini,” begitu biasanya Tembiluk menegaskan.
Ini pula yang terjadi pada suatu musim kemarau, semasa sapi dan kambing
peliharaan orang kampung kerap menjadi santapan harimau lapar. Tembiluk
memaklumatkan teriakan di mulut rimba pada suatu petang. “Huaaaaaaaa, uwiwua,
uwiwua, huaaaaaa, “ begitu kira-kira bunyinya. Menurut para tetua, alamat
teriakan Tembiluk mendengar mantera itu bagai sambaran petir yang mematikan.
Sejak itu, dimusim kering paling ganas sekalipun, tiada seekor harimau pun yang
masuk kampung. Begitulah sepak terjang Tembiluk yang telah meringkus anjing
berkepala manusia. Setelah mendengar teriakan maut Tembiluk, makhluk itu
berubah jinak dan menurut saja ketika Tembiluk menggiringnya ke rimba Bukit
Kecubung. Ia mengatakan bahwa tuan yang dicari-cari anjing itu telah enyah dari
Lubuktusuk, hingga percumalah segala upayanya selama ini. Anjing berkepala
manusia sudah punya tuan baru. Sebagai balasan atas kebaikan Tembiluk, ia
mengabdi sebagai anjing peliharaan yang saban petang berkeliling rimba guna
mengendus sarang lebah siap-panjat. Tembiluk merawat anjing itu seperti merawat
telapak kakinya sendiri. Pertemanan mereka berlangsung lama, hingga pada suatu
hari rimba Bukit Kecubung dikunjungi gerombolan orang berpenampilan necis.
Mereka memohon kesediaan Tembiluk untuk menyerahkan anjing berkepala manusia
itu.
“Masa depan negeri ini sangat bergantung pada hewan milik Bapak,” bujuk
salah seorang dari mereka.
“Menyerahkan makhluk itu sama artinya dengan menyelamatkan bangsa.”
Jauh sebelum kedatangan mereka, Tembiluk sudah tahu bahwa manusia
berkepala anjing telah menjadi biang kebangkrutan. Uang rakyat terus-terusan
dirampok, pejabat bersekongkol dengan aparat, hokum tajam kebawah. Pemimpin
terpucuk yang telah menyengsarakan rakyat harus segera diseret ke meja hijau.
Tapi, Tungkirang terus menghadang. Ia akan berhenti bila sudah dipertemukan
dengan anjing peliharaannya, bila mendapatkan wajah aslinya.
Anjing berkepala manusia menghentak-hentak, lantas lari terengah-engah.
Ia menolak dibawa pergi meski akan bertemu dengan tuan masa silamnya, dan akan
kembali menjadi anjing biasa. “Hanya Bapak yang bisa menangkapnya,” harap ketua
gerombolan.
Mudah bagi Tembiluk mengembalikan hewan itu. Ia tidak lari, hanya
bersembunyi dari orang-orang yang tampak begitu bernafsu. Tembiluk tak bisa
melihat kejernihan di raut wajah mereka. Keruh sempurna. Alih-alih itikad baik
untuk menyelamatkan negeri itu, Tembiluk justru menangkap isyarat tentang watak
kemaruk. Ketajaman penciuman anjingku juga ajaib, sebagaimana Tungkirang.
Dengan hewan itu, mereka bisa memancangkan kuasa baru yang jauh lebih rakus,
batin Tembiluk, sebelum ia menghilang di kedalaman rimba.
Tanah Baru, 2012
(Sumber : Kompas)