Kategori : Cerpen
Oleh : N MURSIDI
LELAKI itu berdiri di dekat jendela. Temaram
lampu kamar, membingkai bayangannya seperti setengah memanjang. Sesaat, aku
hanya menangkap nuansa kesedihan di wajahnya. Wajah yang menyiratkan selaksa
kepucatan yang membentang seperti iring-iringan awan melingkupi langit. Dia
lebih banyak diam, mendengarkan dengan syahdu suara seseorang di seberang. Aku
tahu, dia sedang mengangkat telepon istrinya. Tetapi, aku tak mendengar dengan
jelas: suaranya pelan setengah berbisik, seperti dengung serangga. Sesekali, ia
mengangguk-angguk.
Aku masih meringkuk
dibalut selimut. Tapi tiba-tiba, kulihat segumpal warna serupa sisa badai yang
menggumpal di sudut matanya. Mata yang membuatku bergidik menatapnya lebih
lama. Tak sampai semenit, dia mematikan handphone,
kemudian berjalan ke arahku.
“Aku harus pulang,”
suaranya datar tidak terlalu mengejutkanku. Seperti hari-hari yang lain, dia
tidak selalu mengungkapkan satu alasan pun sebelum pergi dari rumahku.
“Apakah istrimu tahu
kalau malam ini kau di rumahku?”
Dia menggeleng. Sorot
matanya kelabu dan ganjil serasa meninggalkan bekas luka pedih bagai timbunan
kardus kumal yang teronggok di tempat sampah. Lama, kami bersitatap pandang.
Matanya mendidih, serupa air yang dijerang di atas tungku. Aku ingin bertanya…,
tetapi genangan hitam di sudut matanya itu membuatku beringsut. Dan, malam itu,
dia benar-benar seperti orang asing yang baru kukenal.
Dia buru-buru
berpakaian. Aku hanya menatapnya dengan diam, bahkan ketika ia pergi dengan
tergesa dan meninggalkanku yang masih meringkuk setengah telanjang dalam
balutan selimut.
***
Ia tidak tahu, betapa
aku bergidik takut tatkala istriku meneleponku. Meski itu bukan kali pertama
istriku tiba-tiba meneleponku saat aku tidur di rumahnya, tetapi malam itu aku
serasa digulung ombak berlipat-lipat: hanyut dalam gelombang yang hampir
menenggelamkanku. Setelah aku mengangkat telepon, istriku langsung menangis
tersedu. Tangisnya pecah, membuat telingaku serasa basah. Kutunggu lama, hingga
tangisnya reda. Hening sejenak, sebelum kemudian istriku memintaku pulang.
Anakku sakit.
Kabar itu, sebenarnya
bukan sesuatu yang mengejutkan. Tapi, aku merasakan tiba-tiba menggigil. Tangis
istriku bagai gerimis yang turun seketika meninggalkan kepekatan yang
membentang di cakrawala serupa kerlip lampu di sepanjang jalan yang mati
tiba-tiba dan membuat seluruh kota tergeragap. Seberkas cahaya memudar,
berganti gelap. Kesunyian meruncing. Dalam perjalanan pulang, hawa dingin terus
menjalar ke seluruh tubuhku. Setibaku di rumah, aku membuka pintu rumah dengan
gugup, seraya mencium aroma parfum yang masih tertinggal di tubuhku – sekadar
menepis kecurigaan istriku sebelum aku menerabas masuk ke kamar. Tatapan
istriku tak menaruh curiga, ketika aku berdiri di ambang pintu kecuali ia
terlihat gugup. “Sejak satu jam yang lalu, panasnya tak kunjung turun,” tukas
istriku.
“Kenapa kau tak
langsung membawanya ke dokter…” ujarku tak sedikit pun merasa bersalah.
Kupegang kepala
anakku. Panasnya cukup tinggi.
Tetapi, istriku tak
segera menjawab. Lama, ia menatapku dengan heran. “Tapi, anak ini butuh
ayahnya. Ia tidak hanya membutuhkanku di saat sakit seperti ini. Sayangnya,
ayahnya seperti tidak pernah tahu.”
“Jika kau tahu aku
sibuk, kau seharusnya tak perlu menungguku sampai pulang untuk sekadar
membawanya ke dokter,” tukasku, sambil membopong buah hatiku, bocah mungil yang
baru menginjak 1 tahun itu. “Ayo kita berangkat, sebelum semuanya terlambat dan
tambah parah!”
Dalam dekapanku,
anakku menggeliat. Kemudian, ia membuka mata. Mata itu, entah kenapa, tidak
lagi dingin meneduhkan, melainkan berubah seperti nyala api unggun mata seorang
hakim yang mendakwaku dengan tuduhan berat….
***
MATA lelaki itu
kemerahan, bagai hamparan jalan di malam hari yang diterpa gemerlap lampu. Dan,
sejak kali pertama bertemu laki-laki itu, aku seperti ditelungkupkan pada
seraut kenangan. Aku tak tahu, mengapa aku tiba-tiba seperti direnggut perasaan
aneh dan ganjil. Aku seketika jatuh cinta. Apa yang kusuka dari lelaki itu?
Jujur, ia mengingatkanku akan masa laluku – dua tahun lalu – tatkala aku lulus
dari kuliah. Aku masih luntang-lantung, belum mendapatkan pekerjaan layak, dan
kerap tidur di rumah teman.
Hingga akhirnya,
kehidupanku berubah setelah aku bertemu dengan seorang lelaki yang benar-benar
asing bagiku – lelaki yang kemudian menjadikanku istri simpanan. Ia hamper
memberiku apa yang aku butuhkan kecuali kepastian…. Ia bisa datang satu minggu
sekali, kadang bisa satu bulan sekali, atau bahkan dua bulan sekali. Ia datang
ketika butuh, dan ia tidak pernah datang ketika aku sedang membutuhkan
kehadirannya pada satu malam tertentu. Hingga semua itu berakhir ketika
istrinya tahu keberadaanku.
Dan lelaki ini,
tiba-tiba datang dari balik keheningan. Aku tak tahu, bagaimana semua itu
bermula. Ia tiba-tiba duduk di sebelahku, ketika aku sedang berpangku tangan di
sudut café. Ia tersenyum, lalu mengajakku bercengkerama. Di hadapannya, aku
seperti hilang…. Ia lelaki biasa, tapi tatapan matanya membuatku luruh. Dalam
sekejap, persendianku seperti dialiri getaran aneh yang menjalar ke setiap
pori-pori. Mata lelaki itu seperti hamparan laut, tenang dan meneduhkan. Setiap
kali aku melihatnya, aku serasa ingin menyelam kedalamnya….
Aku tidak bisa
berkata-kata dan ketika lelaki itu menawarkan kebaikan untuk mengantarku
pulang, aku tak kuasa menolak. Sejak itulah, aku sering jatuh sakit ketika ia
lama tidak mengunjungiku….
***
SETELAH mengantar
perempuan itu, aku pulang ke rumah dengan raut penuh tanda Tanya. Istriku –
yang biasanya anggun – menyambut kedatanganku dengan cemberut. Tidak seperti
biasanya. Ia kali ini tidak tersenyum, tak membawakan tasku – apalagi mau melepaskan
dasiku. Sejak ia membuka pintu, ia hanya diam - menatapku dengan mata yang aneh.
Aku sudah hafal. Pasti ada peristiwa yang tak ia sukai dan ia memprotesku
dengan diam.
Aku meninggalkan
istriku yang masih berdiri kaku di balik pintu. Ia menutup pintu, menguncinya
dan mengikuti langkahku.
“Noura sakit…,”
akhirnya ia buka suara.
Aku berbalik,
menatapnya dengan raut tak percaya. “Sakit apa?”
“Demam… Tadi badannya
panas. Aku sudah membawanya ke dokter…”
“Gimana sekarang?” tanyaku
penasaran, seraya merangsek ke kamar.
Putriku tertidur,
meringkuk dalam balutan selimut. Entah kenapa, aku selalu menemukan setangkup
ketenangan yang selalu menelusup dalam hatiku, ketika mataku menatap bola mata
mungilnya. Tapi, kali ini putriku terpejam. Aku menempelkan tangan di
keningnya. Kening putriku tidak lagi panas.
“Aku tadi
menghubungimu berkali-kali…. Tapi sia-sia! Handphone-mu
tidak aktif,” ucap istriku.
Aku tidak
menanggapinya. Ia semakin cemberut bahkan kesal. Aku menciumnya putriku
pelan-pelan, tak ingin bangun. Tapi, harapanku kandas. Putriku terjaga. Matanya
biru, menatapku. Aku merasa tatapan mata putriku… entah kenapa, tidak lagi
dingin meneduhkan, tetapi berubah seperti nyala api unggun, yang membuatku
bergidik takut….
Dan beberapa saat
kemudian, ia menangis.
***
DI mataku, tak ada yang
istimewa pada lelaki itu. Ia biasa saja – seperti umumnya lelaki lain. Hanya
saja, mata lelaki itu selalu memukau dan membuatku serasa di tepi danau. Setiap
aku menatapnya, aku seperti melihat hamparan air yang tenang. Bahkan, ketika
aku sudah lama tidak bertemu dengannya, aku…. entah kenapa bisa jatuh sakit.
Aku tidak tahu, kenapa
semua bisa tak masuk akal. Dan ketika ia menjengukku, perlahan sakitku pulih.
Meski ia datang hanya diam, tak pernah banyak bercerita dan bersenda gurau.
Tetapi, kedatangannya telah membuatku bisa tersenyum. Ah, lelaki ini
benar-benar aneh.
“Aku ingin pergi ke
sebuah danau…,” ucapku memecah keheningan.
Lelaki itu diam, dan
seperti tidak mau mendengar apa yang aku katakan. Dan aku tahu, dia tak sanggup
untuk memenuhi permintaanku. Aku, entah kenapa, merasakan telah meminta sesuatu
yang tidak mungkin bisa ia penuhi. Selama ini, memang tidak pernah ada
kesepakatan antara kami. Apalagi, setelah aku tahu ia lelaki yang sudah
beristri. Itulah yang membuatku tak pernah menuntut apa pun… Tapi, dia
tiba-tiba membuatku melambung.
“Besok jika kamu sudah
sembuh, aku akan mengantarmu ke pantai…” ucapnya pelan, seraya mencium
keningku.
“Sekarang aku sudah
sembuh.”
Lelaki itu terbaring
tepat di sisiku, kemudian menyibak selimut dan meringkuk bagai sepotong daging
dalam kulkas. Tubuhnya dingin dan hampa. Tetapi semua berjalan cepat. Lelaki
itu selalu mengerjakannya dengan kilat, sekejap kemudian ia sudah tersengal.
Aku mendengar lenguhan panjang dan setelah itu, ia terbaring lemas di balik
selimut.
Hingga kemudian,
seperti yang sudah-sudah, dering telepon selalu membangunkan tidur nyenyaknya.
Ia terbangun, buru-buru menyibak selimut, meraih handphone dan berjalan dengan gugup ke arah jendela. Kulihat sisa
embun meruapkan basah di sebagian lempeng kaca jendela saat ia mendengarkan
dengan syahdu suara di seberang. Aku tahu, dia sedang mengangkat telepon dari
istrinya. Tapi aku tidak mendengar jelas: suaranya pelan setengah berbisik.
Setelah hening, lelaki
itu berkata pendek, “Aku harus segera pulang.”
Aku tak mungkin
mencegahnya pergi. Aku tahu, pasti ia pulang lantaran anaknya sakit. Ia pernah
bercerita, setiap kali habis menemuiku, pasti anaknya jatuh sakit…
***
Dalam perjalanan
pulang, aku benar-benar merasa bergidik dan disesap rasa takut. Itu karena, aku
tidak ingin kehilangan anakku. Kalau kulanjutkan hubunganku dengan perempuan
itu, aku tak tahu apa yang terjadi dengan anakku. Lama-lama, anakku bisa sakit
menahun….
Tiba di rumah, kubuka
pintu dengan gugup. Lebih gugup lagi tatkala yang menyambutku bukan istriku,
tapi ibu mertuaku. Aku mencium tangan wanita yang telah melahirkan istriku itu
dengan takzim, “Kamu boleh sibuk bahkan kerja mati-matian, tapi jika karena
kesibukanmu, justru anak-istrimu sakit, rasanya kesibukanmu akan membuat hidupmu hampa.”
“Ya, Bu…,” jawabku
Hening sejenak.
“Tapi, bagaimana
dengan Noura?” tanyaku gugup.
“Noura tak apa-apa,
justru sekarang yang sakit istrimu.”
Aku tercekat. Jadi ia
berbohong ketika tadi meneleponku? Ah, kenapa aku sekarang ini tidak peka? Aku
langsung menerabas masuk kamar dan menemukan istriku terbaring dengan tubuh
lemas. Aku duduk di tepi ranjang. Kulihat istriku menggeliat, menatapku dengan aneh.
“Kenapa tadi kau
meneleponku mengatakan Noura yang sakit?”
Istriku diam.
“Kenapa kau berbohong?”
Lagi-lagi, istriku
diam. Setelah itu, ia menatapku tajam. Dan mata istriku… entah kenapa tak lagi
dingin meneduhkan tapi berubah seperti nyala api unggun yang membuatku
bergidik. Mata istriku, kulihat seperti sepasang mata malaikat yang tak
henti-henti menuduhku; bahwa akulah yang sebenarnya berbohong.
Jakarta, 2012
(Sumber : Kompas)