Kamis, Februari 13, 2014

SEPASANG MATA MALAIKAT


Kategori  : Cerpen
Oleh       : N MURSIDI


LELAKI itu berdiri di dekat jendela. Temaram lampu kamar, membingkai bayangannya seperti setengah memanjang. Sesaat, aku hanya menangkap nuansa kesedihan di wajahnya. Wajah yang menyiratkan selaksa kepucatan yang membentang seperti iring-iringan awan melingkupi langit. Dia lebih banyak diam, mendengarkan dengan syahdu suara seseorang di seberang. Aku tahu, dia sedang mengangkat telepon istrinya. Tetapi, aku tak mendengar dengan jelas: suaranya pelan setengah berbisik, seperti dengung serangga. Sesekali, ia mengangguk-angguk.

Aku masih meringkuk dibalut selimut. Tapi tiba-tiba, kulihat segumpal warna serupa sisa badai yang menggumpal di sudut matanya. Mata yang membuatku bergidik menatapnya lebih lama. Tak sampai semenit, dia mematikan handphone, kemudian berjalan ke arahku.
“Aku harus pulang,” suaranya datar tidak terlalu mengejutkanku. Seperti hari-hari yang lain, dia tidak selalu mengungkapkan satu alasan pun sebelum pergi dari rumahku.
“Apakah istrimu tahu kalau malam ini kau di rumahku?”
Dia menggeleng. Sorot matanya kelabu dan ganjil serasa meninggalkan bekas luka pedih bagai timbunan kardus kumal yang teronggok di tempat sampah. Lama, kami bersitatap pandang. Matanya mendidih, serupa air yang dijerang di atas tungku. Aku ingin bertanya…, tetapi genangan hitam di sudut matanya itu membuatku beringsut. Dan, malam itu, dia benar-benar seperti orang asing yang baru kukenal.
Dia buru-buru berpakaian. Aku hanya menatapnya dengan diam, bahkan ketika ia pergi dengan tergesa dan meninggalkanku yang masih meringkuk setengah telanjang dalam balutan selimut.
***


Ia tidak tahu, betapa aku bergidik takut tatkala istriku meneleponku. Meski itu bukan kali pertama istriku tiba-tiba meneleponku saat aku tidur di rumahnya, tetapi malam itu aku serasa digulung ombak berlipat-lipat: hanyut dalam gelombang yang hampir menenggelamkanku. Setelah aku mengangkat telepon, istriku langsung menangis tersedu. Tangisnya pecah, membuat telingaku serasa basah. Kutunggu lama, hingga tangisnya reda. Hening sejenak, sebelum kemudian istriku memintaku pulang. Anakku sakit.
Kabar itu, sebenarnya bukan sesuatu yang mengejutkan. Tapi, aku merasakan tiba-tiba menggigil. Tangis istriku bagai gerimis yang turun seketika meninggalkan kepekatan yang membentang di cakrawala serupa kerlip lampu di sepanjang jalan yang mati tiba-tiba dan membuat seluruh kota tergeragap. Seberkas cahaya memudar, berganti gelap. Kesunyian meruncing. Dalam perjalanan pulang, hawa dingin terus menjalar ke seluruh tubuhku. Setibaku di rumah, aku membuka pintu rumah dengan gugup, seraya mencium aroma parfum yang masih tertinggal di tubuhku – sekadar menepis kecurigaan istriku sebelum aku menerabas masuk ke kamar. Tatapan istriku tak menaruh curiga, ketika aku berdiri di ambang pintu kecuali ia terlihat gugup. “Sejak satu jam yang lalu, panasnya tak kunjung turun,” tukas istriku.
“Kenapa kau tak langsung membawanya ke dokter…” ujarku tak sedikit pun merasa bersalah.
Kupegang kepala anakku. Panasnya cukup tinggi.
Tetapi, istriku tak segera menjawab. Lama, ia menatapku dengan heran. “Tapi, anak ini butuh ayahnya. Ia tidak hanya membutuhkanku di saat sakit seperti ini. Sayangnya, ayahnya seperti tidak pernah tahu.”
“Jika kau tahu aku sibuk, kau seharusnya tak perlu menungguku sampai pulang untuk sekadar membawanya ke dokter,” tukasku, sambil membopong buah hatiku, bocah mungil yang baru menginjak 1 tahun itu. “Ayo kita berangkat, sebelum semuanya terlambat dan tambah parah!”
Dalam dekapanku, anakku menggeliat. Kemudian, ia membuka mata. Mata itu, entah kenapa, tidak lagi dingin meneduhkan, melainkan berubah seperti nyala api unggun mata seorang hakim yang mendakwaku dengan tuduhan berat….
***

MATA lelaki itu kemerahan, bagai hamparan jalan di malam hari yang diterpa gemerlap lampu. Dan, sejak kali pertama bertemu laki-laki itu, aku seperti ditelungkupkan pada seraut kenangan. Aku tak tahu, mengapa aku tiba-tiba seperti direnggut perasaan aneh dan ganjil. Aku seketika jatuh cinta. Apa yang kusuka dari lelaki itu? Jujur, ia mengingatkanku akan masa laluku – dua tahun lalu – tatkala aku lulus dari kuliah. Aku masih luntang-lantung, belum mendapatkan pekerjaan layak, dan kerap tidur di rumah teman.
Hingga akhirnya, kehidupanku berubah setelah aku bertemu dengan seorang lelaki yang benar-benar asing bagiku – lelaki yang kemudian menjadikanku istri simpanan. Ia hamper memberiku apa yang aku butuhkan kecuali kepastian…. Ia bisa datang satu minggu sekali, kadang bisa satu bulan sekali, atau bahkan dua bulan sekali. Ia datang ketika butuh, dan ia tidak pernah datang ketika aku sedang membutuhkan kehadirannya pada satu malam tertentu. Hingga semua itu berakhir ketika istrinya tahu keberadaanku.
Dan lelaki ini, tiba-tiba datang dari balik keheningan. Aku tak tahu, bagaimana semua itu bermula. Ia tiba-tiba duduk di sebelahku, ketika aku sedang berpangku tangan di sudut café. Ia tersenyum, lalu mengajakku bercengkerama. Di hadapannya, aku seperti hilang…. Ia lelaki biasa, tapi tatapan matanya membuatku luruh. Dalam sekejap, persendianku seperti dialiri getaran aneh yang menjalar ke setiap pori-pori. Mata lelaki itu seperti hamparan laut, tenang dan meneduhkan. Setiap kali aku melihatnya, aku serasa ingin menyelam kedalamnya….
Aku tidak bisa berkata-kata dan ketika lelaki itu menawarkan kebaikan untuk mengantarku pulang, aku tak kuasa menolak. Sejak itulah, aku sering jatuh sakit ketika ia lama tidak mengunjungiku….
***

SETELAH mengantar perempuan itu, aku pulang ke rumah dengan raut penuh tanda Tanya. Istriku – yang biasanya anggun – menyambut kedatanganku dengan cemberut. Tidak seperti biasanya. Ia kali ini tidak tersenyum, tak membawakan tasku – apalagi mau melepaskan dasiku. Sejak ia membuka pintu, ia hanya diam - menatapku dengan mata yang aneh. Aku sudah hafal. Pasti ada peristiwa yang tak ia sukai dan ia memprotesku dengan diam.
Aku meninggalkan istriku yang masih berdiri kaku di balik pintu. Ia menutup pintu, menguncinya dan mengikuti langkahku.
“Noura sakit…,” akhirnya ia buka suara.
Aku berbalik, menatapnya dengan raut tak percaya. “Sakit apa?”
“Demam… Tadi badannya panas. Aku sudah membawanya ke dokter…”
“Gimana sekarang?” tanyaku penasaran, seraya merangsek ke kamar.
Putriku tertidur, meringkuk dalam balutan selimut. Entah kenapa, aku selalu menemukan setangkup ketenangan yang selalu menelusup dalam hatiku, ketika mataku menatap bola mata mungilnya. Tapi, kali ini putriku terpejam. Aku menempelkan tangan di keningnya. Kening putriku tidak lagi panas.
“Aku tadi menghubungimu berkali-kali…. Tapi sia-sia! Handphone-mu tidak aktif,” ucap istriku.
Aku tidak menanggapinya. Ia semakin cemberut bahkan kesal. Aku menciumnya putriku pelan-pelan, tak ingin bangun. Tapi, harapanku kandas. Putriku terjaga. Matanya biru, menatapku. Aku merasa tatapan mata putriku… entah kenapa, tidak lagi dingin meneduhkan, tetapi berubah seperti nyala api unggun, yang membuatku bergidik takut….
Dan beberapa saat kemudian, ia menangis.
***

DI mataku, tak ada yang istimewa pada lelaki itu. Ia biasa saja – seperti umumnya lelaki lain. Hanya saja, mata lelaki itu selalu memukau dan membuatku serasa di tepi danau. Setiap aku menatapnya, aku seperti melihat hamparan air yang tenang. Bahkan, ketika aku sudah lama tidak bertemu dengannya, aku…. entah kenapa bisa jatuh sakit.
Aku tidak tahu, kenapa semua bisa tak masuk akal. Dan ketika ia menjengukku, perlahan sakitku pulih. Meski ia datang hanya diam, tak pernah banyak bercerita dan bersenda gurau. Tetapi, kedatangannya telah membuatku bisa tersenyum. Ah, lelaki ini benar-benar aneh.
“Aku ingin pergi ke sebuah danau…,” ucapku memecah keheningan.
Lelaki itu diam, dan seperti tidak mau mendengar apa yang aku katakan. Dan aku tahu, dia tak sanggup untuk memenuhi permintaanku. Aku, entah kenapa, merasakan telah meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa ia penuhi. Selama ini, memang tidak pernah ada kesepakatan antara kami. Apalagi, setelah aku tahu ia lelaki yang sudah beristri. Itulah yang membuatku tak pernah menuntut apa pun… Tapi, dia tiba-tiba membuatku melambung.
“Besok jika kamu sudah sembuh, aku akan mengantarmu ke pantai…” ucapnya pelan, seraya mencium keningku.
“Sekarang aku sudah sembuh.”
Lelaki itu terbaring tepat di sisiku, kemudian menyibak selimut dan meringkuk bagai sepotong daging dalam kulkas. Tubuhnya dingin dan hampa. Tetapi semua berjalan cepat. Lelaki itu selalu mengerjakannya dengan kilat, sekejap kemudian ia sudah tersengal. Aku mendengar lenguhan panjang dan setelah itu, ia terbaring lemas di balik selimut.
Hingga kemudian, seperti yang sudah-sudah, dering telepon selalu membangunkan tidur nyenyaknya. Ia terbangun, buru-buru menyibak selimut, meraih handphone dan berjalan dengan gugup ke arah jendela. Kulihat sisa embun meruapkan basah di sebagian lempeng kaca jendela saat ia mendengarkan dengan syahdu suara di seberang. Aku tahu, dia sedang mengangkat telepon dari istrinya. Tapi aku tidak mendengar jelas: suaranya pelan setengah berbisik.
Setelah hening, lelaki itu berkata pendek, “Aku harus segera pulang.”
Aku tak mungkin mencegahnya pergi. Aku tahu, pasti ia pulang lantaran anaknya sakit. Ia pernah bercerita, setiap kali habis menemuiku, pasti anaknya jatuh sakit…
***

Dalam perjalanan pulang, aku benar-benar merasa bergidik dan disesap rasa takut. Itu karena, aku tidak ingin kehilangan anakku. Kalau kulanjutkan hubunganku dengan perempuan itu, aku tak tahu apa yang terjadi dengan anakku. Lama-lama, anakku bisa sakit menahun….
Tiba di rumah, kubuka pintu dengan gugup. Lebih gugup lagi tatkala yang menyambutku bukan istriku, tapi ibu mertuaku. Aku mencium tangan wanita yang telah melahirkan istriku itu dengan takzim, “Kamu boleh sibuk bahkan kerja mati-matian, tapi jika karena kesibukanmu, justru anak-istrimu sakit, rasanya kesibukanmu akan membuat  hidupmu hampa.”
“Ya, Bu…,” jawabku
Hening sejenak.
“Tapi, bagaimana dengan Noura?” tanyaku gugup.
“Noura tak apa-apa, justru sekarang yang sakit istrimu.”
Aku tercekat. Jadi ia berbohong ketika tadi meneleponku? Ah, kenapa aku sekarang ini tidak peka? Aku langsung menerabas masuk kamar dan menemukan istriku terbaring dengan tubuh lemas. Aku duduk di tepi ranjang. Kulihat istriku menggeliat, menatapku dengan aneh.
“Kenapa tadi kau meneleponku mengatakan Noura yang sakit?”
Istriku diam.
“Kenapa kau berbohong?”
Lagi-lagi, istriku diam. Setelah itu, ia menatapku tajam. Dan mata istriku… entah kenapa tak lagi dingin meneduhkan tapi berubah seperti nyala api unggun yang membuatku bergidik. Mata istriku, kulihat seperti sepasang mata malaikat yang tak henti-henti menuduhku; bahwa akulah yang sebenarnya berbohong.
Jakarta, 2012

 (Sumber : Kompas)

Selasa, Februari 11, 2014

Puisi Sapardi Djoko Damono

Kategori  : Puisi


The Rest Is Silence
Hamlet, William Shakespeare
/1/
Apakah kau percaya
pada arwah gentayangan
yang ada dan tiada
di sekitar istana? Apakah kau percaya
ada yang baunya sengit
ada yang membusuk
di sekitarmu?
Apakah kau sungguh-sungguh
Mencintai ibumu?
Wahai, Perempuan,
Kaulah kaum ringkih itu.

/2/              
Pangeran, lihatlah ke luar
Orang-orang pulang kantor
berkendara motor:
satu, sepuluh, seratus, seribu –
ada yang berteriak
mungkin padamu,
“Bagaimana kabar anjingmu?”
Tak ada yang peduli
dengan siapa ibumu tidur
mala ini.
Mereka tak suka nonton
Sandiwara sedih –
hujan yang hampir setiap hari
menggigilkan mereka sudah cukup         
menjajarkan mereka
di sudut duka yang baka.
“Apa kabar anjingmu
yang suka menggeletak
pura-pura mati
setiap kali kau bicara
kepada dirimu sendiri
tentang bunuh diri?”

/3/
Seorang perempuan yang lewat
membuka payung dalam gerimis
tak pernah mendengar
dan mungkin juga tak peduli
banyolan dua penggali kubur
di pinggir liang lahat
yang akan menganga
siap menerima masa lampaumu.
Perempuan itu pengin buru-buru pulang
menonton kisah gadis solehah
agar bisa ikut mengusut
rangkaian pertanyaan sederhana
yang tak ada kaitannya
dengan celoteh dua badut itu,
“Apakah memang cinta
yang telah mengirim
perempuan muda itu
ke jalan sesat?”
Perempuan berpayung
menunggu angkot –
kalau saja ia tahu
kisah cinta tak terlarai itu
mungkin akan dikatakannya –
tanpa menimbulkan rasa sedih,
“Itu pasti lebih dikenang
daripada kalau ia masuk biara
yang pasti akan menjadikannya
tak jelas telungkup
atau telentang.”
Sidik jarinya tetap menempel
di sekujur tubuhmu, lihat!
siut matanya masih terasa
menyambar-nyambar tatapanmu!

/4/
Kau mungkin hanya ragu-ragu
untuk tahu bahwa sepasang badut
itu punya firasat buruk
segera sesudah kau mendarat
di negeri ini;
mereka bernyanyi-nyanyi
memain-mainkan tengkorak
melempar-lemparkan kata-kata musykil
ketika menggali kubur
perempuan muda yang bayangannya
meraung dan mencakar-cakar
dua belah otakmu.
Mereka mungkin saja tahu
bahwa kau hanya berpura-pura
gila ketika itu;
bahwa kau memang tak paham
makna cinta yang kau kumur-kumur,
tak pernah masuk tenggorokanmu,
“Yang mati bunuh diri
tak berhak dikubur
di pelataran suci ini!”
Tapi, bukankah kau sebenarnya
yang membimbingnya
ke liang kubur itu?
O, ya, Pangeran – bukankah kau
yang pernah menyuruhnya
masuk biara ketika ia
merasa tak kuasa
menjangkaumu? Padahal!

/5/
Bahwa kau memang tak paham
ketika dulu bilang
ibumu pelacur murahan
bahwa kau tak bisa mengurai
simpul yang digulung
ibumu dan perempuan muda itu;
bahwa kau memang tak paham
kasak-kusuk sebelum kau masuk
ke perhelatan agung
yang tak seharusnya
tapi yang ternyata seharusnya
melibatkanmu;
bahwa adu pedang itu
permainan yang lebih perkasa
dari sandiwara akal-akalanmu.

/6/
Sandiwara yang kau rancang
hanya sedikit menggoyang mahkota,
yang jelata tak diberi tempat
untuk menyaksikannya;
mereka sibuk berseliweran
naik angkot, bis kota,
boncengan sepeda motor setiap hari
tidak untuk menjawab
pertanyaan yang mungkin kausodorkan
kepada arwah gentayangan itu.
Sandiwara hanya keyakinan maya
yang menorehmu, “Hai,
kenapa gentar pada api maya?”
Kepada siapa sebenarnya
kau todongkan pertanyaan itu?
Kepada arwahmu sendiri
yang akan menutup
perbincangan ini nanti?

/7/
Underpass macet sama sekali
ketika hujan deras turun –
itu, alhamdulillah, sebabnya mereka
tak pernah sampai di gedung
pertunjukan sandiwara
akal-akalanmu.
Mereka buru-buru
ingin sampai ke rumah
menyaksikan sinetron
yang tak berniat menyodorkan
masalah atau tanda tanya
ke kotak kepala
yang sudut-sudutnya
tak pernah tentram
dan karenanya hanya memimpikan
air mata yang melegakan sukma.
Sialan! Hujan tak juga berhenti
macet di underpass menyebabkan
semua tertunda.
Alhamdulillah, mereka tak ikut bingung
meski mungkin suka sandiwara
yang ada adu pedangnya
yang banyak maki-makinya
yang berkilau gelimang darahnya
tanpa harus mendengarkan
ucapan filsafat yang keramat
di tepi liang kubur itu.

/8/
Aku mencintai perempuan muda
yang mungkin bunuh diri itu –
lebih dari segala cinta
yang dimiliki manusia!

/9/
Tentu kau dengar teriakan lelaki
yang bapaknya kaubunuh
dan adiknya mati tenggelam itu,
“Tunggu, jangan timbuni dulu
liang kubur yang kaugali
sampai aku bisa memeluk
sekali lagi
tubuh molek itu!”

/10/
Ada hp bergetar
di underpass:
“sinetron keluarga sakinah
dah mulai mas
km msh di jln
ujan ya
rugi mas ga nonton
haru bgt deh.”
Sialan! Hujan gak juga reda!
Padahal hanya dalam sandiwara
hidup berupa tanda tanya.

/11/
Apakah benar itu umpatan
ketika terdengar ucapan,
Wahai, Perempuan,
kaulah kaum ringkih itu.

/12/
Selebihnya: senyap-sunyi semata.


Nuh
Nuh bilang, kita harus membuat perahu.
Mimpi kita muntah: banjir besar itu
apa sudah direncanakan sejak lama?
Ambil beberapa huruf yang cekung,

agar kita semua bisa tertampung.
Persiapkan juga beberapa yang tegak
dan miring, dan sebuah titik.
Ke mana kita terbawa muntahan ini?

Susun dalam sebuah kalimat yang kedap air
agar kita bisa sampai ke sebuah bukit.
Mimpikah sebenarnya muntahan ini?
Agar kita bisa menelan masa lalu.


Senyap Penghujan
:Rendra
/1/
Senyap mengendap-endap dan hinggap
di ranting itu. Seekor burung mematuknya –
ia terdengar menyanyikan aroma pandan
sepanjang musim penghujan.

/2/
Seekor burung menukik dan hinggap
di ranting itu. Sunyi sembunyi di sayapnya –
terlelap di antara bulu-bulunya.

/3/
Senyap, burung, sunyi, dan juga hujan
melesat bersama aroma yang kebiru-biruan.

(Sumber : Kompas)