Oleh : SULUNG PAMANGGIH
Sebenarnya tidak ada keistimewaan khusus mengenai keahlian Darko dalam
memijat. Standar tukang pijat pada layaknya. Namun, keramahannya yang mengalir
menambah daya pikat tersendiri. Kami menemukan ketenangan di wajahnya yang membuat
kami senantiasa merasa dekat. Mungkin oleh sebab itu kami terus
membicarakannya.
Entah darimana asalnya, tiada
seorang warga pun yang tahu. Tiba-tiba saja datang ke kampung kami dengan
pakaian tampak lusuh. Kami sempat menganggap dia adalah pengemis yang diutus
kitab suci. Dia bertubuh jangkung tetapi terkesan membungkuk, barangkali karena
usia. Peci melingkar di kepala. Jenggot lebat mengitari wajah. Tanpa mengenakan
kacamata, membuat matanya yang hampa terlihat lebih suram, dia menawarkan
pijatan dari rumah ke rumah. Kami melihat mata yang bagai selalu ingin memejam,
hanya selapis putih yang terlihat.
Kami pun penasaran ingin
merasakan pijatannya. Maklum, tak ada tukang pijat di kampung kami, apalagi
yang keliling. Biasanya kami saling pijat memijat dengan istri di rumah
masing-masing, itu pun hanya sekadarnya. Kami harus menuju ke dukun pijat di
kampung sebelah bila ingin merasakan pijatan yang sungguh-sungguh atau mengurut
tangan kaki kami yang terkilir.
Hampir kebanyakan warga di
kampung kami ini adalah buruh tani. Hanya beberapa orang yang memiliki sawah,
dapat dihitung dengan ingatan. Setiap hari kami harus menumpahkan tenaga di
ladang. Dapat dibayangkan keletihan kami bila malam menjelang. Tentulah
kehadiran Darko membuat kampung kami lebih menggeliat, makin bergairah.
Setiap malam, dengan membawa
minyak urut, dia menyusur dari gang ke gang kampung guna menjemput pelanggan.
Kakinya bagai digerakkan tanah, dia begitu saja melangkah tanpa bantuan
tongkat. Tidak pernah menabrak pohon atau jatuh ke sungai. Memang, tangannya
kerap meraba-raba udara ketika melangkah, seperti sedang menatap keadaan.
Barangkali penglihatan Darko terletak di telapak tangannya.
Dia akan berhenti ketika
seseorang memanggilnya. Melayani pelanggannya dengan tulus dan sama rata, tanpa
pernah memandang suatu apa pun. Serta yang membuat kami semakin hormat, tidak
pernah sekali pun dia mematok harga. Dengan biaya murah, bahkan terkadang hanya
dengan mengganti sepiring nasi dan teh panas, kami bisa mendapatkan kenikmatan
pijat yang tiada tara. Kami menikmati bagaimana tangannya menekan lembut tiap
jengkal tubuh kami. Kami merasakan urat syaraf kami yang perlahanm melepaskan
kepenatan bagai menemukan kesegaran baru setelah seharian ditimpa kelelahan.
Pantaslah bila terkadang ada pelanggan yang tertidur saat sedang dipijat.
Selain itu, Darko memiliki
pembawaan sikap yang ramah, tidak mengherankan bila orang-orang kampung segera
merasa akrab dengan dirinya. Dia suka pula menceritakan kisah lucu di sela pijatannya.
Meskipun begitu, kami tetap tidak tahu asal-usulnya dengan jelas. Bila kami
menanyakannya, dia selalu mengatakan bahwa dirinya berasal dari kampung yang
jauh di kaki gunung.
Kemudian kami ketahui, bila malam
hampir tandas, Darko kembali ke tempat pemakaman di ujung kampung. Di antara
sawah-sawah melintang. Sebuah tempat pemakaman yang muram, menegaskan
keterasingan. Di sana terdapat sebuah gubuk yang menyimpan keranda, gentong,
serta peralatan penguburan lain yang tentu saja kotor sebab hanya diperlukan
bila ada warga meninggal. Di keranda itulah Darko tidur, memimpikan apa saja.
Dia selalu mensyukuri mimpi, meskipun percaya mimpi tak akan mengubah apa-apa.
Sudah berhari-hari dia tinggal di sana. Tak dapat kami bayangkan bagaimana
aroma mayit yang membubung ke udara lewat tengah malam, menggenang di dadanya,
menyesakkan pernapasan.
Kami lantas menyarankan supaya
menginap di masjid saja. Namun dia tolak. Katanya kini masjid sedang berada di
ujung tanduk. Entahlah, dia lebih memilih tinggal di pemakaman, membersihkan
kuburan siapa saja.
Seminggu kemudian orang-orang kampung gusar. Pak Lurah mengumumkan bahwa
masjid kampung satu-satunya yang berada di jalan utama, akan segera dipindah ke
permukiman berimpitan rumah-rumah warga dengan alasan agar kami lebih dekat
menjangkaunya. Supaya masjid senantiasa dipenuhi jemaah.
Namun, berhamburan kabar Pak
Lurah akan mengorbankan tanah masjid dan sekitarnya ini kepada orang kota untuk
sebuah proyek pasar masuk kampung. Tentu saja merupakan tempat yang strategis
daripada di pelosok pemukiman, harus melewati gang yang meliuk-liuk dan becek
seperti garis nasib kami.
Di saat seperti itu kami justru
teringat Darko. Ucapannya terngiang kembali, mengendap ke telinga kami bagai
datang dari keterasingan yang kelam. Kami mulai bertanya-tanya. Adakah Darko
memang sudah mengetahui segala yang akan terjadi? Sejauh ini kami hanya saling
memendam di dalam hati masing-masing tentang dugaan bahwa Darko memiliki
kejelian menangkap hari lusa.
Namun diam-diam ketika sedang
dipijat, Kurit, seorang warga kampung yang terkenal suka ceplas-ceplos, meminta
Darko meramalkan nasibnya. Darko hanya tersenyum sambil gelengkan kepala
berkali-kali isyarat kerendahan hati, seakan berkata bahwa dia tidak bisa
melakukan apa-apa selain memijat. Namun Kurit terus mendesak. Akhirnya seusai
memijat, Darko pun menuruti permintaannya.
Dengan sikap yang tenang dia
mulai mengusap telapak tangan Kurit, menatapnya dengan mata terpejam, kemudian
berkata; Telapak tangan adalah pertemuan antara kesedihan dan kebahagiaan.
Entahlah apa maksudnya, Kurit kali ini hanya diam saja, mendengarkan dengan
takzim.
“Ada kekuatan tersimpan di
telapak tanganmu.”
Kurit serius menyimaknya masih
dalam keadaan berbaring.
“Tetap dirawat pertanianmu,
rezeki akan terus membuntuti,” tambahnya.
Kurit mengangguk, masih tanpa
ucap.
Setelah merasa tak ada lagi
sesuatu yang harus dikerjakan, Darko permisi. Berjalan kembali menapaki malam
yang lenggang. Langkahnya begitu jelas terdengar, gesekan telapak kakinya pada
tanah menimbulkan bunyi yang gemetar. Sementara Kurit terus menyimpan ucapan
Darko, berharap akan menjadi kenyataan.
***
Siang hari. Darko selalu duduk
berlama-lama di celah gundukan-gundukan tanah yang berjajar. Seperti sedang
merasakan udara yang semilir di bawah pohon-pohon tua. Menangkap suara
burung-burung yang melengking di kejauhan. Menikmati aroma semak-semak.
Mulutnya bergerak, seperti sedang merapalkan doa. Mungkin dia mendoakan mereka
yang di alam kubur sana. Dan bila ada warga meninggal, Darko kerap membantu
para penggali kubur. Meski sekadar mengambil air dari sumur, supaya tanah lebih
mudah digali.
Begitulah, saat siang hari kami
tak pernah melihat Darko keliling kampung. Barangkali dia lebih memilih menyepi
dalam hening pemakaman. Ada saja sesuatu yang dia kerjakan. Bahkan yang mungkin
tidak begitu penting sekalipun. Mencabuti rerumputan liar di permukaan tanah
makam, mengumpulkan dedaunan yang berserakan dengan sapu lidi lalu membakarnya.
Padahal, lihatlah betapa daun-daun tidak akan pernah berhenti menciumi bumi.
Dia begitu tangkas melakukan itu semua, seakan memang tak pernah ada masalah
dengan penglihatannya.
Kurit membenarkan ucapan Darko.
Bawang merah yang dipanennya kini lebih besar dan segar daripada hasil panen
sebelumnya. Bertepatan dengan naiknya harga bawang yang memang tidak menentu.
Dengan meluap-luap Kurit menceritakan kejelian Darko membaca nasib seseorang
kepada siapa saja yang dijumpainya. Kabar tentang ramalannya pun bagai udara,
beredar di perkampungan.
Kini hampir setiap malam selalu
saja ada yang membutuhkan jasanya. Para perempuan, yang biasanya lebih menyukai
pijatan suami, mulai menunggu giliran. Entah karena memang butuh mengendorkan
otot yang tegang atau sekadar ingin mengetahui ramalannya. Mungkin dua-duanya.
Bila kebetulan kami menjumpainya di jalan dan minta diramal tanpa pijat
sebelumnya, Darko tidak akan bersedia melakukannya. Katanya, dia hanya
menawarkan jasa pijat, bukan ramalan.
Di warung wedang jahe,
orang-orang terus membicarakannya. Mereka saling menceritakan ramalan
masing-masing.
“Akan datang kepadaku putri kecil
pembawa rezeki.”
“Eh, dia juga bilang, sebentar
lagi akan habis masa penantianku,” kata perempuan pemilik warung dengan nada
berbunga-bunga. Ia hampir layu menunggu lamaran.
“Dia menyarankan supaya aku
beternak ayam saja,” seseorang menambahi.
Begitulah, dengan sangat
berkobar-kobar kami menceritakan ramalan masing-masing. Setiap lamunan kami
habiskan untuk berharap. Menunggu dengan keyakinan mengucur seperti curah
keringat kami yang terus menetes sepanjang hari.
Sungguh tak dapat kami pungkiri.
Tak dapat kami sangkal, segalanya benar-benar terjadi. Talim dianugerahi bayi
perempuan yang sehat dari rahim istrinya. Tak lama jelang itu, Surtini si
perawan tua menerima lamaran seorang duda dari kampung sebelah. Sementara
Tasrip bergembira mendapati ternak ayamnya gemuk dan lincah. Disusul dengan
kejadian-kejadian serupa.
Kejelian Darko dalam meramal
semakin diyakini orang-orang kampung. Ketepatannya membaca nasib seperti
seorang petani memahami gerak musim-musim. Pak Lurah pun merasa terusik
mendengar kabar yang dari hari ke hari semakin meluap itu. Ia sebelumnya memang
belum pernah merasakan pijatan Darko. Ia lebih memilih pijat ke kampung sebelah
yang bersertifikat, menurutnya lebih pantas dipercayai.
Malam itu diam-diam Pak Lurah
memanggil Darko ke rumahnya. Seusai dipijat, dengan suara penuh wibawa ia
meminta diramalkannya nomer togel
yang akan keluar besok malam. Seperti biasa, Darko hanya menggeleng sambil
tersenyum. Namun Pak Lurah terus mendesak, bahkan sedikit memohon. Darko diam
beberapa jenak. Kemudian, dengan sangat terang dia pun menyebutkan angka
sejumlah empat kali diikuti gerak jari-jari tangannya. Kali ini Pak Lurah yang
tersenyum, gembira melintasi raut mukanya.
Seperti biasa, setelah merasa
tidak ada sesuatu yang harus dikerjakan, Darko permisi. Membiarkan tubuhnya
diterpa angin malam yang lembab.
***
Orang-orang kampung kini mulai
gelisah. Sudah dua malam kami tidak menjumpai Darko kelililng kampung. Kami
hanya bisa menduga dengan kemungkinan-kemungkinan. Sementara Pak Lurah kian
geram, merasa dilecehkan. Mendapati nomer
togel pemberiannya tak kunjung tembus. Esoknya, di suatu Jumat yang cerah, Pak
Lurah mengumpulkan beberapa warga-terutama yang lelaki-guna memindahkan
perlengkapan penguburan ke tengah permukiman. Katanya, tanah kuburan semakin
sesak, membutuhkan lahan luang yang lebih.
Sesampainya di sana, kami tetap
tidak menjumpai Darko. Di gubuk itu, kami tidak juga menemukan jejak
peninggalannya. Dengan memendam perasaan getir kami merobohkan tempat
tinggalnya. Dalam hati kami masih sempat bertanya. Adakah Darko memang sudah
mengetahui segala yang akan terjadi?
Kamar Malas, Januari 2012
(Sumber : Kompas)