Jumat, Juli 13, 2012

KABUT IBU

Kategori  : Cerpen
Oleh       : MASHDAR ZAINAL


Dari kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan.

Awalnya, orang-orang mengira bahwa rumah kami tengah sesak dilalap api. Tapi kian waktu mereka kian bosan membicarakannya, karena mereka tak pernah melihat api sepercikpun menjilati rumah kami. Yang mereka lihat hanya asap tebal yang bergulung-gulung. Kabut. Pada akhirnya, mereka hanya akan saling berbisik, “Begitulah rumah pengikut setan, rumah tanpa Tuhan, rumah itu pasti sudah dikutuk.”
***

Peristiwa itu terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang begitu merah. Seperti warna bendera bergambar senjata yang merebak dan dikibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika itu, aku masih sepuluh tahun. Ayah meminta ibu dan aku untuk tetap tenang di kamar belakang. Ibu terus mendekapku ketika itu. Sayup-sayup di ruang depan ayah tengah berbincang dengan beberapa orang. Entah apa yang mereka perbincangkan, tetapi sepertinya mereka serius sekali. Desing golok yang disarungkan pun terdengar tajam. Bahkan beberapa kali mereka meneriakkan nama Tuhan.

Beberapa saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah gemetaran di kamar belakang. Ayah meminta kami untuk pergi ke rumah abah (bapak dari ayah) yang terletak di kota kecamatan, yang jaraknya tidak terlampau jauh.

Masih lekat dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku terburu-buru melewati jalan pematang yang licin. Cahaya bulan yang redup malam itu cukup menjadi lentera kami dari laknatnya malam. Beberapa kali aku terpeleset, kakiku menancap dalam kubang lumpur sawah yang becek dan dingin, hingga ibu terpaksa menggendongku. Sesampainya di rumah abah, ibu mengetuk pintu terburu-buru dan melemparkan diri di tikar rami. Napasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah mengambilkan segelas air putih untuk ibu, sebelum mengajakku tidur di kamarnya.

Malam itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelahku. Sementara, di luar riuh oleh teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing senjata api sesekali. Abah menyuruhku untuk segera memejamkan mata.

Subuh paginya, ketika suara azan terdengar bergetar, abah memanggil-manggil nama ibu sambil menelanjangi seluruh bilik. Abah panik karena ibu sudah tidak ada lagi di kamarnya.

Selepas duha, abah mengantarku pulang dengan kereta untanya. Ibumu pasti sudah pulang duluan, begitu kata abah.

Sesampainya di depan rumah, tiba-tiba abah menutup kedua mataku dengan telapak tangannya yang bau tembakau. Dari sela-sela jari abah aku bisa menilik kaca jendela dan pintu yang hancur berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan teras. Warna merah yang teramat pekat, seperti darah yang mengering. Buru-buru abah memutar haluan, membawaku pulang kembali ke rumahnya. Dari kejauhan aku melihat lalu lalang orang di depan rumah kami yang kian mengecil dalam pandanganku. Orang-orang itu tampak terlunta-lunta mengangkat karung keranda.

“Mengapa kita tak jadi pulang, Bah?” tanyaku.

“Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu.” Abah tersengal-sengal mengayuh kereta untanya.

“Kotor kenapa, Bah?”

Abah terdiam beberapa jenak, “Ya kotor, mungkin semalam banjir.”

“Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?”

“Ya banjir.”

“Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.”

“Hus!”
***

Berselang jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk tinggal sebentar di rumah. Aku tak boleh membuka pintu ataupun keluar rumah sebelum abah datang.

“Jangan kemana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan rumahmu dulu, sekalian jemput ibumu.”

Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi hawa mencekam itu sampai kini masih membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa mengintip keadaan di luar dari celah-celah dinding papan. Di luar sepi sekali. Sangat sepi. Kampung ini seperti kampung mati. Lama sekali abah tak kunjung datang. Jauh selepas ashar, baru kudengar decit rem kereta untanya di depan rumah. Aku mengempaskan napas lega. Menyongsong abah.

Abah tertatih merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai seperti boneka. Matanya kosong tanpa kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam menghitam.

Ketika kutanya abah ada apa dengan ibu, abah hanya menjawab singkat, bahwa ibu sedang sakit. Lalu aku bertanya lagi kepada abah, ayah mana? Dan abah tidak menjawab. Namun, beberapa waktu kemudian, dengan sangat perlahan, abah mulai menjelaskan bahwa hidup dan mati adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya akan di datangi kematian – lantaran mereka pernah hidup. Maka serta-merta aku paham dengan warna merah yang menggenang di teras rumah tadi pagi. Saat itu aku tak bisa menangis. Namun, dadaku sesak menahan ngeri.
***

Semenjak hari yang merah itulah ibu tak pernah sudi keluar kamar, apalagi keluar rumah. Ketika ibu kami paksa untuk menghirup udara luar, ia akan menjerit dan meronta tak karuan. Pada akhirnya, aku dan abah hanya bisa pasrah. Tampaknya ada sesuatu yang rusak dalam kepala ibu. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ibu seperti sudah tak peduli lagi pada dunia. Sepanjang hari pekerjaannya hanya diam, sesekali menggedor-gedor meja dan lemari, menghantam-hantamkan bantal ke dinding dan terdiam lagi.

Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus kami yang mengantarkan ke kamarnya. Mandi pun harus kami yang menuntunnya. Berganti pakaian, menyisir rambut, melipat selimut, semua aku dan abah yang melakukannya. Hanya satu hal yang kami tidak mengerti: kamar ibu selalu berkabut.

Lelah sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu muncul tiba-tiba. Kabut yang selalu mengepul, setelah kami menutup kembali pintu dan jendela, mengepul lagi dan lagi. Setelah kami tilik dengan saksama, baru kami menyadari sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari mata ibu. Sejauh ingatanku, ibu tak pernah menitiskan air mata. Namun dari matanya selalu mengepul kabut tebal yang tak pernah kami pahami muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari air mata yang menguap lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah.
***

Pada akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya butuh membuka pintu dan jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah, semenjak kami menyadari keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan pintu kamarnya untuk kami. Makanan dan minuman kami selipkan melewati jendela kaca luar. Namun sepertinya ia tak lagi peduli dengan makanan. Beberapa kali kami menemukan makanan yang kami selipkan membusuk di tempat yang sama. Tak tersentuh sama sekali. Ketika kami memangil-manggil nama ibu, tak ada sahutan sama sekali dari dalam, kecuali kepulan kabut yang memudar dan pecah di depan mata kami.

Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus mengental. Kami tak bisa melihat jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika, aku dan abah berinisiatif untuk mendobrak pintu kamar ibu. Kami benar-benar berniat melakukan itu.  Kami benar-benar khawatir dengan keadaan ibu. Linggis dan congkel kami siapkan. Beberapa kali kami melemparkan hantaman. Pintu itu bergeming. Kami terus menghantamnya, mencongkelnya, mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah berdebam di tanah.

Aku dan abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka jendela lebar-lebar. Perlahan kami mendapati kabut itu memudar dan pecah. Beberapa saat kemudian kabut itu benar-benar lenyap. Namun kamar ibu menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada ranjang yang membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi. Kami tidak melihat ibu di sana. Aneh, kami juga tidak mel;ihat ibu berkelebat atau berlari keluar kamar. Yang kami saksikan dalam bilik itu hanya kabut yang kian menipis dan hilang.

Kami masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami mencari ibu sampai ke kantor kecamatan. Kami juga menyebarkan berita kehilangan sampai kantor polisi. Waktu melaju, berbilang pekan dan bulan, tapi ibu tak juga kami temukan. Hingga keganjilan itu muncul dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu masih terus mengepul dari kamar ibu, entah dari mana muasalnya. Lambat laun kami berani menyimpulkan bahwa ibu tidak benar-benar hilang. Ibu masih ada di rumah ini, di kamarnya. Kabut itu, kabut itu buktinya. Kabut itu adalah kabut ibu. Kabut yang tak pernah ada kikisnya.
***

Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat kamar ibu. Membiarkan kabut itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Kami tak perlu lagi memedulikan ocehan orang-orang yang mengatakan bahwa rumah kami adalah rumah setan, rumah tak bertuhan, rumah yang menanggung kutukan. Karena, kami yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah kami, sebagaimana ia menelan ibu.
Ketika Kabut
Malang, 11-11-11


(Sumber : Kompas)

Minggu, Juli 01, 2012

TUKANG PIJAT KELILING

Kategori  : Cerpen
Oleh       : SULUNG PAMANGGIH


Sebenarnya tidak ada keistimewaan khusus mengenai keahlian Darko dalam memijat. Standar tukang pijat pada layaknya. Namun, keramahannya yang mengalir menambah daya pikat tersendiri. Kami menemukan ketenangan di wajahnya yang membuat kami senantiasa merasa dekat. Mungkin oleh sebab itu kami terus membicarakannya.

Entah darimana asalnya, tiada seorang warga pun yang tahu. Tiba-tiba saja datang ke kampung kami dengan pakaian tampak lusuh. Kami sempat menganggap dia adalah pengemis yang diutus kitab suci. Dia bertubuh jangkung tetapi terkesan membungkuk, barangkali karena usia. Peci melingkar di kepala. Jenggot lebat mengitari wajah. Tanpa mengenakan kacamata, membuat matanya yang hampa terlihat lebih suram, dia menawarkan pijatan dari rumah ke rumah. Kami melihat mata yang bagai selalu ingin memejam, hanya selapis putih yang terlihat.

Kami pun penasaran ingin merasakan pijatannya. Maklum, tak ada tukang pijat di kampung kami, apalagi yang keliling. Biasanya kami saling pijat memijat dengan istri di rumah masing-masing, itu pun hanya sekadarnya. Kami harus menuju ke dukun pijat di kampung sebelah bila ingin merasakan pijatan yang sungguh-sungguh atau mengurut tangan kaki kami yang terkilir.

Hampir kebanyakan warga di kampung kami ini adalah buruh tani. Hanya beberapa orang yang memiliki sawah, dapat dihitung dengan ingatan. Setiap hari kami harus menumpahkan tenaga di ladang. Dapat dibayangkan keletihan kami bila malam menjelang. Tentulah kehadiran Darko membuat kampung kami lebih menggeliat, makin bergairah.

Setiap malam, dengan membawa minyak urut, dia menyusur dari gang ke gang kampung guna menjemput pelanggan. Kakinya bagai digerakkan tanah, dia begitu saja melangkah tanpa bantuan tongkat. Tidak pernah menabrak pohon atau jatuh ke sungai. Memang, tangannya kerap meraba-raba udara ketika melangkah, seperti sedang menatap keadaan. Barangkali penglihatan Darko terletak di telapak tangannya.

Dia akan berhenti ketika seseorang memanggilnya. Melayani pelanggannya dengan tulus dan sama rata, tanpa pernah memandang suatu apa pun. Serta yang membuat kami semakin hormat, tidak pernah sekali pun dia mematok harga. Dengan biaya murah, bahkan terkadang hanya dengan mengganti sepiring nasi dan teh panas, kami bisa mendapatkan kenikmatan pijat yang tiada tara. Kami menikmati bagaimana tangannya menekan lembut tiap jengkal tubuh kami. Kami merasakan urat syaraf kami yang perlahanm melepaskan kepenatan bagai menemukan kesegaran baru setelah seharian ditimpa kelelahan. Pantaslah bila terkadang ada pelanggan yang tertidur saat sedang dipijat.

Selain itu, Darko memiliki pembawaan sikap yang ramah, tidak mengherankan bila orang-orang kampung segera merasa akrab dengan dirinya. Dia suka pula menceritakan kisah lucu di sela pijatannya. Meskipun begitu, kami tetap tidak tahu asal-usulnya dengan jelas. Bila kami menanyakannya, dia selalu mengatakan bahwa dirinya berasal dari kampung yang jauh di kaki gunung.

Kemudian kami ketahui, bila malam hampir tandas, Darko kembali ke tempat pemakaman di ujung kampung. Di antara sawah-sawah melintang. Sebuah tempat pemakaman yang muram, menegaskan keterasingan. Di sana terdapat sebuah gubuk yang menyimpan keranda, gentong, serta peralatan penguburan lain yang tentu saja kotor sebab hanya diperlukan bila ada warga meninggal. Di keranda itulah Darko tidur, memimpikan apa saja. Dia selalu mensyukuri mimpi, meskipun percaya mimpi tak akan mengubah apa-apa. Sudah berhari-hari dia tinggal di sana. Tak dapat kami bayangkan bagaimana aroma mayit yang membubung ke udara lewat tengah malam, menggenang di dadanya, menyesakkan pernapasan.

Kami lantas menyarankan supaya menginap di masjid saja. Namun dia tolak. Katanya kini masjid sedang berada di ujung tanduk. Entahlah, dia lebih memilih tinggal di pemakaman, membersihkan kuburan siapa saja.

Seminggu kemudian orang-orang  kampung gusar. Pak Lurah mengumumkan bahwa masjid kampung satu-satunya yang berada di jalan utama, akan segera dipindah ke permukiman berimpitan rumah-rumah warga dengan alasan agar kami lebih dekat menjangkaunya. Supaya masjid senantiasa dipenuhi jemaah.

Namun, berhamburan kabar Pak Lurah akan mengorbankan tanah masjid dan sekitarnya ini kepada orang kota untuk sebuah proyek pasar masuk kampung. Tentu saja merupakan tempat yang strategis daripada di pelosok pemukiman, harus melewati gang yang meliuk-liuk dan becek seperti garis nasib kami.

Di saat seperti itu kami justru teringat Darko. Ucapannya terngiang kembali, mengendap ke telinga kami bagai datang dari keterasingan yang kelam. Kami mulai bertanya-tanya. Adakah Darko memang sudah mengetahui segala yang akan terjadi? Sejauh ini kami hanya saling memendam di dalam hati masing-masing tentang dugaan bahwa Darko memiliki kejelian menangkap hari lusa.

Namun diam-diam ketika sedang dipijat, Kurit, seorang warga kampung yang terkenal suka ceplas-ceplos, meminta Darko meramalkan nasibnya. Darko hanya tersenyum sambil gelengkan kepala berkali-kali isyarat kerendahan hati, seakan berkata bahwa dia tidak bisa melakukan apa-apa selain memijat. Namun Kurit terus mendesak. Akhirnya seusai memijat, Darko pun menuruti permintaannya.

Dengan sikap yang tenang dia mulai mengusap telapak tangan Kurit, menatapnya dengan mata terpejam, kemudian berkata; Telapak tangan adalah pertemuan antara kesedihan dan kebahagiaan. Entahlah apa maksudnya, Kurit kali ini hanya diam saja, mendengarkan dengan takzim.

“Ada kekuatan tersimpan di telapak tanganmu.”

Kurit serius menyimaknya masih dalam keadaan berbaring.

“Tetap dirawat pertanianmu, rezeki akan terus membuntuti,” tambahnya.

Kurit mengangguk, masih tanpa ucap.

Setelah merasa tak ada lagi sesuatu yang harus dikerjakan, Darko permisi. Berjalan kembali menapaki malam yang lenggang. Langkahnya begitu jelas terdengar, gesekan telapak kakinya pada tanah menimbulkan bunyi yang gemetar. Sementara Kurit terus menyimpan ucapan Darko, berharap akan menjadi kenyataan.
***

Siang hari. Darko selalu duduk berlama-lama di celah gundukan-gundukan tanah yang berjajar. Seperti sedang merasakan udara yang semilir di bawah pohon-pohon tua. Menangkap suara burung-burung yang melengking di kejauhan. Menikmati aroma semak-semak. Mulutnya bergerak, seperti sedang merapalkan doa. Mungkin dia mendoakan mereka yang di alam kubur sana. Dan bila ada warga meninggal, Darko kerap membantu para penggali kubur. Meski sekadar mengambil air dari sumur, supaya tanah lebih mudah digali.

Begitulah, saat siang hari kami tak pernah melihat Darko keliling kampung. Barangkali dia lebih memilih menyepi dalam hening pemakaman. Ada saja sesuatu yang dia kerjakan. Bahkan yang mungkin tidak begitu penting sekalipun. Mencabuti rerumputan liar di permukaan tanah makam, mengumpulkan dedaunan yang berserakan dengan sapu lidi lalu membakarnya. Padahal, lihatlah betapa daun-daun tidak akan pernah berhenti menciumi bumi. Dia begitu tangkas melakukan itu semua, seakan memang tak pernah ada masalah dengan penglihatannya.

Kurit membenarkan ucapan Darko. Bawang merah yang dipanennya kini lebih besar dan segar daripada hasil panen sebelumnya. Bertepatan dengan naiknya harga bawang yang memang tidak menentu. Dengan meluap-luap Kurit menceritakan kejelian Darko membaca nasib seseorang kepada siapa saja yang dijumpainya. Kabar tentang ramalannya pun bagai udara, beredar di perkampungan.

Kini hampir setiap malam selalu saja ada yang membutuhkan jasanya. Para perempuan, yang biasanya lebih menyukai pijatan suami, mulai menunggu giliran. Entah karena memang butuh mengendorkan otot yang tegang atau sekadar ingin mengetahui ramalannya. Mungkin dua-duanya. Bila kebetulan kami menjumpainya di jalan dan minta diramal tanpa pijat sebelumnya, Darko tidak akan bersedia melakukannya. Katanya, dia hanya menawarkan jasa pijat, bukan ramalan.

Di warung wedang jahe, orang-orang terus membicarakannya. Mereka saling menceritakan ramalan masing-masing.

“Akan datang kepadaku putri kecil pembawa rezeki.”

“Eh, dia juga bilang, sebentar lagi akan habis masa penantianku,” kata perempuan pemilik warung dengan nada berbunga-bunga. Ia hampir layu menunggu lamaran.

“Dia menyarankan supaya aku beternak ayam saja,” seseorang menambahi.

Begitulah, dengan sangat berkobar-kobar kami menceritakan ramalan masing-masing. Setiap lamunan kami habiskan untuk berharap. Menunggu dengan keyakinan mengucur seperti curah keringat kami yang terus menetes sepanjang hari.

Sungguh tak dapat kami pungkiri. Tak dapat kami sangkal, segalanya benar-benar terjadi. Talim dianugerahi bayi perempuan yang sehat dari rahim istrinya. Tak lama jelang itu, Surtini si perawan tua menerima lamaran seorang duda dari kampung sebelah. Sementara Tasrip bergembira mendapati ternak ayamnya gemuk dan lincah. Disusul dengan kejadian-kejadian serupa.

Kejelian Darko dalam meramal semakin diyakini orang-orang kampung. Ketepatannya membaca nasib seperti seorang petani memahami gerak musim-musim. Pak Lurah pun merasa terusik mendengar kabar yang dari hari ke hari semakin meluap itu. Ia sebelumnya memang belum pernah merasakan pijatan Darko. Ia lebih memilih pijat ke kampung sebelah yang bersertifikat, menurutnya lebih pantas dipercayai.

Malam itu diam-diam Pak Lurah memanggil Darko ke rumahnya. Seusai dipijat, dengan suara penuh wibawa ia meminta diramalkannya nomer togel yang akan keluar besok malam. Seperti biasa, Darko hanya menggeleng sambil tersenyum. Namun Pak Lurah terus mendesak, bahkan sedikit memohon. Darko diam beberapa jenak. Kemudian, dengan sangat terang dia pun menyebutkan angka sejumlah empat kali diikuti gerak jari-jari tangannya. Kali ini Pak Lurah yang tersenyum, gembira melintasi raut mukanya.

Seperti biasa, setelah merasa tidak ada sesuatu yang harus dikerjakan, Darko permisi. Membiarkan tubuhnya diterpa angin malam yang lembab.
***

Orang-orang kampung kini mulai gelisah. Sudah dua malam kami tidak menjumpai Darko kelililng kampung. Kami hanya bisa menduga dengan kemungkinan-kemungkinan. Sementara Pak Lurah kian geram, merasa dilecehkan. Mendapati nomer togel pemberiannya tak kunjung tembus. Esoknya, di suatu Jumat yang cerah, Pak Lurah mengumpulkan beberapa warga-terutama yang lelaki-guna memindahkan perlengkapan penguburan ke tengah permukiman. Katanya, tanah kuburan semakin sesak, membutuhkan lahan luang yang lebih.

Sesampainya di sana, kami tetap tidak menjumpai Darko. Di gubuk itu, kami tidak juga menemukan jejak peninggalannya. Dengan memendam perasaan getir kami merobohkan tempat tinggalnya. Dalam hati kami masih sempat bertanya. Adakah Darko memang sudah mengetahui segala yang akan terjadi?

Kamar Malas, Januari 2012


 (Sumber : Kompas)