Jumat, Juni 22, 2012

Puisi Hanna Fransisca


Kategori  : Puisi

Kambing Guling
100 butir merica. Bawang. Kecap asin. Bara api. Tusuk besi.
Cuka. Garam. Pisau jagal. Kecap manis . Tambang. Kipas angin.
Doa pencabut nyawa. Minyak zaitun.

Engkau pamit pergi ke taman.
Kambing berguling bersama Nani.
“Bunda, pegang bulunya, tak beda dengan beludru.”
“Bukan beludru, sayang, tapi salju pada matanya yang sayu.”

Engkau diam mematung.
Bunga bakung dan rumput jangkung.
Kelopak teratai di kolam mekar, warnanya seperti bulu
di matamu yang sayu. Langit berubah
warna, menjadi sedih menjelang senja.

“Apakah serigala memakan kambing, Bunda?”

Gerimis kenangan menjelma pulau. Seratus danau
di padang rumput, dicipta Tuhan setelah hujan.
Ranting bungur menyediakan rumah
bagi burung, tanah menumbuhkannya bagi damai,
bagi hijau, bagi lumut, bagi air dan rumput.
Lalu Tuhan mencipta keindahan: seekor kambing yang berteduh di bawah cinta.
“Rabalah bulunya, Bunda, putih beludru seperti salju.
Matanya lucu, apakah ini milik Nani?”

Ia menyusu tanah, Nani. Ia tumbuh dari rumput
teki yang senantiasa berbagi.

Tapi langit di sini berubah warna, menjadi sedih
menjelang senja. Engkau memeluk Nani. Nani memeluk kambing.
“Pergilah ke kamar, Nani. Di sini tempat orang dewasa.
Mereka akan segera memulai pesta.”

Nani merajuk, matanya hijau serupa danau,
“Apakah serigala memakan kambing, Bunda?”
Nani di kamar membuka jendela: melihat langit menjelang senja.
Semoga Tuhan menjauhkan Bunda
dari serigala.

100 butir merica. Bawang. Kecap asin. Bara api. Tusuk besi.
Cuka. Garam. Pisau jagal. Kecap manis . Tambang. Kipas angin.
Doa pencabut nyawa. Minyak zaitun.

Jakarta, Mei 2011


Tumis Paru
: Ayah
Seketika Ibu mencicip tumis paru, maka terbukalah dunia baru.
Ayah pamit ke surga, menyalakan dupa
Bagi Dewa yang tak sempat menitip rezeki ketika di dunia.

Tumis paru,
Panas tungku,
harum abu.

Langit mengirimkan iyarat pada sunyi rahasia. Sebatang kecambah tumbuh menjalar,
menggapai hutan tempat burung sendiri,
angsa tanpa kekasih menyanyikan cinta sepanjang hari.

Di laut debur ombak masih terdengar.

Asap jahe, irisan cabe, kentang telanjang ditikam panjang.
Sembilan udang sauna yang dijemput dari dermaga. Pagi ini ia sungguh bahagia,
menitip doa bagi Dewa Dapur yang duduk di tungku dengan ragu.
Di panci yang biasa menanak kangkung dan terasi, berenang paru bersama udang,
bagi sesaji Ayah yang pergi menuju laut.

Angin selalu ada tanpa suara.

Nyala dupa. Harum merica.
Berlayarlah engkau jauh ke langit ungu,
bagi lelaki yang membangun perahu menuju samudra biru.
Jika sempat menyapa Thian, maafkan Ibu di hari itu.

“Udang pertanda petaka umur, lantaran ia berjalan mundur.
Ia racun bagi keluarga papa seperti kita.
Bangkai kepiting bisa jadi terasi, pengisi perut dalam sehari, tapi udang siapa sanggup beli?
Dengar dengarlah anakku, nyanyian genjer yang ditunggu Dewa Tungku,
denting kuali diparut garam, bersama ubi sehari-hari. Dewa Dapur tak pernah ragu,
menyantap dupa dari perih bara. Mereka rindu melihat tawa yang keluar dari air mata.”

Tumis paru,
Panas tungku,
Harum abu.

Di hari kami berlutut.
Di laut debur ombak masih terdengar.
Angin selalu ada tanpa suara.
Bagi Thian Penguasa Surga,
izinkan kami merawat cinta.

Singkawang, April 2011                                                                                                                                                                                                                        


Pada Doa
Tiga batang dupa menyalak – raungan serigala di rimba-rimba.
Tubuhmu langsing menusuk mata.
Harum bagai bunga disingkap angin jelaga.
Aku membenci-Mu diam-diam.
Mabuk dalam gelas arak-Mu.
Tiga cangkir teh menghadap, mengundang
leleh air mata hingga pintu neraka terbuka.

Aku bertandang ke gubuk-Mu yang kumuh, dengtan jiwa rusuh.
Langit gelap, hilang pilar tempatku merayu, meminta mati.
Tambur berdebur menyanyikanlagu takabur.
Jadilah Kau debu!
Jadilah Kau: bara api yang memanggang
Kau sendiri.

Tuhanku,
Dalam tepekur ilalang sunyi, begini muda, gampang terbelah, terkatung-katung.
Ribuan tahun berkelana mencari cahaya-Mu tak juga nemu.
Mencari bulan di telaga, mencari cinta yang ditoreh di pasir-pasir sutra,
o, Kaisar Langit. Hempaskan aku kini
ke dalam batas alam-Mu. Aku yang takabur,
ingin berbaring sunyi hanya pada-Mu
Hanya pada-Mu
Saja.

Jakarta, Mei 2011



Burung Api
Kuizinkan bibirmu memanjat, menjelma pena
Tanpa kata. Kupahat kisah di lekuk cadas,
Sepasang burung api melesat
Menuju rumah kita

Aku panah busur kiamat. Kautarik
garis kencang, umurku melengkung, masuk
di rongga dadamu

Burung api
yang kelak terbakar
sendiri

Jakarta, Mei 2011


 
Hanna Fransisca (Zhu Yong Xia) lahir 30 Mei 1979 di Singkawang, Kalimantan Barat. Kumpulan puisinya,  Konde Penyair Han (2010), mendapat penghargaan sebagai buku sastra terbaik pilihan majalah Tempo 2010. Ia tinggal di Jakarta


(Sumber : Kompas)