Oleh : LIE CHARLIE
NENEKKU merokok!
Inilah yang membedakannya dengan karakter nenek lain yang umumnya lemah lembut
dan imut-imut; salah satunya. Ia juga garang, pemarah, dan suka cakap kotor!
Bila kesal ia menyebut-nyebut
alat kelamin pria dan wanita. Orang yang pertama kali mendengar nenek menggerutu
pasti kaget bukan alang kepalang.
Namanya saja nenek, jadi ia
memang sudah tua sehingga semua orang tampaknya memaklumi segala ulahnya yang
menyimpang. Kalau menasihati orang, nenek selalu terus terang. “Malas kau! Mana
ada laki yang mau sama kau? Bisanya Cuma duduk-duduk mengangkang dan berdandan.
Sana cuci piring, cuci pakaian, masak, atau beres-beres! Jadi perempuan jangan
sampai harus disuruh-suruh. Malu.” Saudara sepupu jauhku langsung merah matanya
dan tersengal-sengal napasnya diomeli begitu.
Aku melihat nenek sendiri tidak
mengerjakan apa-apa. Sepanjang hari ia cuma duduk-duduk di kurtsi baringnya
yang terbuat dari kayu dan kain terpal. Ya, duduk-duduk sambil berkipas-kipas
bila hari panas dan merokok Kansas. Bibi Ketiga yang selalu membelikannya rokok
sehingga nenek sering bercerita kepada orang mengenai anak bungsunya ini yang
dikisahkannya sebagai anak berbakti.
Nenek suka membanding-bandingkan
Bibi Ketiga dengan Bibi Kedua yang dilukiskannya pelit dan hanya peduli pada
keluarganya sendiri. Maka Bibi Kedua suka menyela bila nenek sudah mulai
menyinggung Paman Kedua dan membandingkan perhatiannya dengan Paman Ketiga yang
selalu dipujinya royal. Seperti efek domino, nenek pun lebih menyayangi
anak-anak Bibi Ketiga dan selalu mencela anank-anak Bibi Kedua yang dinilainya
nakal karena dimanja.
Ada sebuah pispot tempat nenek
buang ludah di samping kursi-baringnya. Keadaan ini membuat aku merasa jijik
tetapi aku mendiamkannya. Kalau aku tak menahan diri, nenek mungkin akan
langsung menuding aku durhaka atau entah apalah. Ayah adalah anak sulung nenek.
Karena melahirkan anak sulung laki-laki, nenek disayang kakek. Nenek, dengan
demikian, juga menyayangi ayah lebih daripada Bibi Kedua dan Bibi Ketiga.
Nenek suka membanggakan ayah yang
sebenarnya kurang cakap berdagang, suatu kemampuan yang menjadi andalan banyak
orang perantauan pada masa itu. Seingat aku, ayah gagal dan rugi melulu bila
memperdagangkan sesuatu. Berbeda dengan sikapnya terhadap ayah, nenek kurang
senang dengan ibuku. Mungkin lantaran setelah menikah dengan ibu, ternyata ayah
tidak maju-maju. Nenek juga tidak mencintai kami, aku dan saudara-saudaraku.
Ada kalanya aku merasa cemburu
kepada teman yang sering bercerita betapa mereka disayang nenek masing-masing.
Bukan perkara mata duitan tetapi nenek orang lain ternyata suka memberi uang
kepada cucu-cucunya. Nenekku tidak pernah memberi aku uang jajan. Bila
menyuruh-nyuruh pun ia tidak membiarkan aku mengantongi uang kembaliannya. Aku
tahu nenek tidak punya banyak uang maka aku tidak banyak menuntut dan
mengata-ngatainya pelit atau apalah. Jika membeli mie pangsit, nenek memesan mie polos tanpa
pangsit. Belinya selalu sebungkus untuk dirinya saja. Jajan apapun nenek hanya
memuaskan dirinya sendiri. Sejauh ingatanku, aku juga tak pernah membelikan
sesuatu untudk nenek. Hubungan aku dan nenek jauh dari ikatan kasih sayang.
***
NENEKKU istri muda kakekku. Istri
kedua. Dahulu, zaman kakek dan nenekku, cukup banyak wanita menjadi istri muda
pria perantauan dari Tiongkok. Orang yang merantau tidak pernah membawa-bawa
serta istri dan anak mereka. Tiba di rantau, suratan tangan berbelok ke
mana-mana. Usia pria perantau umumnya masih relatif muda dan penuh gairah. Mana
tahan tidak menyentuh perempuan dalam waktu lama dan tak ada ujungnya?
Beberapa yang berakhlak rendah
masuk-keluar rumah pelacuran dan mengisap opium. Kakekku bermoral tinggi
biarpun akhirnya ia meneyerah pada nafsunya sendiri. Ia mencari jalan yang agak
bersih dengan mengambil keputusan menikah lagi. Aku yakin nenekku yang mulai
menggodanya. Walaupun sudah tua, aku tahu nenek bertulang sedikit genit dari
sananya.
Belakangan nenek di Tiongkok tahu
bahwa suaminya sudah menikah lagi di perantauan meskipun kakek masih setia
mengirimkan uang secara teratur. Mungkin nenek di Tiongkok sakit hati dan sudah
memikirkan akan menempuh sebuah jalan sendiri. Pada suatu kesempatan ia
menitipkan putrinya, putri sulung kakekku, kepada seorang perantau dari kampung
yang sama untuk diserahkan kepada kakek. Kukira kakek orang baik dan
bertanggung jawab. Ia membesarkan putri sulungnya secara terpisah. Kakek sudah
cukup kaya waktu itu setelah sukses di perantauan. Entah pekerjaan yang dilakukan
kakek sebelumnya, hal yang aku ketahui adalah bahwa kakek berdagang ikan asin
grosiran. Aku memang tidak tahu banyak sebab kakek meninggal dunia saat aku
masih berusia antara 1-2 tahun.
Cerita-cerita aku dengar dari keluarga dan nenek.
Nenek suka bercerita jika tak
dapat dikatakan banyak mulut. Setiap kali duduk atau jongkok dan berhadapan
dengan orang, ia akan mulai bercerita. Biasanya semua ceritanya menyinggung hal
yang bagus-bagus mengenai dirinya dan soal yang jelek-jelek dan aneh-aneh jika
menyangkut orang lain.
Sebagai sesepuh, nenek sesekali
dikuinjungi sanak keluarga yang lebih muda. Ia senang dihormati tetapi tak
segan-segan menyerang orang dengan kata-kata polos. Suatu kali ia mengintip
salah seorang kerabat yang bersimpuh mengenakan celana dalam mini dan
berkomentar, “Beraninya kau! Pada zaman aku, celana dalam seperti itu hanya
dipakai pelacur!” Kontan sang kerabat memerah wajahnya.
Selain cerita sehari-hari yang
dibumbuinya, nenek sering pula mendongeng. Tentang Sun Go Kong yang dapat
berubah menjadi 72 wujud, tentang kera yang jempolnya lemah sebab jika kuat
bisa memegang pisau dan membunuh manusia, tentang tokoh bernama Gong Beng (Beng
si Bodoh) yang duduk telanjang di bawah meja untuk menjadi santapan nyamuk agar
ayahnya bebas dari gigitan nyamuk, dan lain-lain. Paling heboh bila nenek
mendongeng tentang neraka. Orang yang berbohong bakal dipotong lidahnya, (bukan
memanjang hidungnya), orang yang berkhianat akan direbus, orang yang mencuri
dipenggal tangannya dan diumpankan kepada anjing, dan macam-macam siksaan menurut
imajinasi nenek. Tujuannya membuat kami takut dan menjadi anak penurut. Di atas
semua itu, tentu kami paling suka mendengar kisah hantu.
***
Kamar nenek seram atau begitulah
pendapat aku. Satu-satunya jalan masuk cahaya berasal dari genteng kaca di
atap. Pada langit-langit kamar ada bagian yang diberi lempengan kaca sehingga
cahaya dari atap tersebut dapat menerobos masuk. Tidak ada jendela sebab kamar
nenek berada di bagian dalam rumah. Pada dinding kamar tergantung sepasang
lukisan potret kakek dan nenek dalam bingkai oval. Lukisan itu dibuat oleh
seniman Belanda yang datang berkeliling dan mengumpulkan foto mereka yang
hendak dilukis. Foto-foto yang terkumpul dibawa pulang dan dilukis di negeri
Belanda. Setelah selesai ia membawa hasil karyanya kembali ke sini.
Perabot milik nenek hanya sebuah
lemari kayu besar tempat ia menyimpan pakaiannya dan seluruh rahasia hidupnya.
Aku tidak pernah tahu isi lemari nenek dan tidak ingin tahu. Aku masuk ke kamar
nenek biasanya lantaran hendak mengambil sesuatu dari meja belajar kakak yang
sejak kecil tidur bersama nenek.
Setelah ia sakit-sakitan aku
jarang mendengar l;agi mengenai nenek. Aku sendiri kemudian meninggalkan rumah
untuk merantau ke Jawa. Aku tidak merindukan nenek dan aku kira nenek juga
tidak peduli padaku. Perpisahan kami seperti sebuah keniscayaan yang pasti
terjadi. Suatu waktu aku tahu, pada saat sakit, nenek pernah menuduh adikku
mencuri uangnya dari dalam lemari! Aku tidak percaya dan marah. Nenek juga
menambahkan bahwa uangnya dipakai adik untuk berjudi. Astaga, orang tua ini
mengigau atau berhalusinasi. Fantasinya masih berjalan ke mana-mana ketika ia
terbaring lemah. Aku mengenal adikku dan berani berkata bahwa ia tidak mungkin
berlaku sejahanam itu. Aku pikir, jika masih ada di rumah, barangkali aku yang
akan menjadi sasaran hujatan nenek.
Setelah ibu mempertanyakannya,
Bibi Ketiga mengaku bahwa dialah yang mengambil uang nenek. Alasannya, ia
khawatir bila nenek meninggal, kami mengambil uang itu. Ia merasa itu uangnya
sebab hanya dia yang selalu memberi nenek uang. Sayangnya, ia mengaku setelah
nenek meninggal dunia. Bibi Ketiga berkelit bahwa ia tidak tahu nenek menaruh
curiga kepada adikku. Nenek senantiasa memuji Bibi Ketiga. Kenyataannya memang
Bibi Ketiga sering membelikan nenek sesuatu, hal yang jarang dilakukan
anak-anak nenek yang lain termasuk ayah. Selain rokok yang sekali beli 2-3
slop(1 slop isi 20 bungkus), Bibi Ketiga suka membelikan nenek sarung. Nenek
memang mengenakan kebaya (yang belakangan aku tahu namanya kebaya “encim”) dan
sarung seperti nyai-nyai di Jawa.
tahu, tidak baik bercerita
tentang orang yang sudah tiada, apalagi mengenai keburukannya. Aku hanya ingin
orang tahu bahwa tidak semua nenek baik. Nenek juga manusia dan ada yang jahat.
Mungkin bukan jahat dalam arti suka memukul atau mencaci maki, melainkan tidak
menyayangi cucunya dan egois sampai mati. Nenek telah wafat dan dikubur. Aku
tidak pernah mengunjungi kuburannya. Tidak ada kerinduan untuk itu.
Bandung, 11 Februari 2011
(Sumber : Kompas)