Sabtu, Juni 30, 2012

NENEK

Kategori  : Cerpen
Oleh       : LIE CHARLIE





NENEKKU merokok! Inilah yang membedakannya dengan karakter nenek lain yang umumnya lemah lembut dan imut-imut; salah satunya. Ia juga garang, pemarah, dan suka cakap kotor!

Bila kesal ia menyebut-nyebut alat kelamin pria dan wanita. Orang yang pertama kali mendengar nenek menggerutu pasti kaget bukan alang kepalang.

Namanya saja nenek, jadi ia memang sudah tua sehingga semua orang tampaknya memaklumi segala ulahnya yang menyimpang. Kalau menasihati orang, nenek selalu terus terang. “Malas kau! Mana ada laki yang mau sama kau? Bisanya Cuma duduk-duduk mengangkang dan berdandan. Sana cuci piring, cuci pakaian, masak, atau beres-beres! Jadi perempuan jangan sampai harus disuruh-suruh. Malu.” Saudara sepupu jauhku langsung merah matanya dan tersengal-sengal napasnya diomeli begitu.

Aku melihat nenek sendiri tidak mengerjakan apa-apa. Sepanjang hari ia cuma duduk-duduk di kurtsi baringnya yang terbuat dari kayu dan kain terpal. Ya, duduk-duduk sambil berkipas-kipas bila hari panas dan merokok Kansas. Bibi Ketiga yang selalu membelikannya rokok sehingga nenek sering bercerita kepada orang mengenai anak bungsunya ini yang dikisahkannya sebagai anak berbakti.

Nenek suka membanding-bandingkan Bibi Ketiga dengan Bibi Kedua yang dilukiskannya pelit dan hanya peduli pada keluarganya sendiri. Maka Bibi Kedua suka menyela bila nenek sudah mulai menyinggung Paman Kedua dan membandingkan perhatiannya dengan Paman Ketiga yang selalu dipujinya royal. Seperti efek domino, nenek pun lebih menyayangi anak-anak Bibi Ketiga dan selalu mencela anank-anak Bibi Kedua yang dinilainya nakal karena dimanja.

Ada sebuah pispot tempat nenek buang ludah di samping kursi-baringnya. Keadaan ini membuat aku merasa jijik tetapi aku mendiamkannya. Kalau aku tak menahan diri, nenek mungkin akan langsung menuding aku durhaka atau entah apalah. Ayah adalah anak sulung nenek. Karena melahirkan anak sulung laki-laki, nenek disayang kakek. Nenek, dengan demikian, juga menyayangi ayah lebih daripada Bibi Kedua dan Bibi Ketiga.

Nenek suka membanggakan ayah yang sebenarnya kurang cakap berdagang, suatu kemampuan yang menjadi andalan banyak orang perantauan pada masa itu. Seingat aku, ayah gagal dan rugi melulu bila memperdagangkan sesuatu. Berbeda dengan sikapnya terhadap ayah, nenek kurang senang dengan ibuku. Mungkin lantaran setelah menikah dengan ibu, ternyata ayah tidak maju-maju. Nenek juga tidak mencintai kami, aku dan saudara-saudaraku.

Ada kalanya aku merasa cemburu kepada teman yang sering bercerita betapa mereka disayang nenek masing-masing. Bukan perkara mata duitan tetapi nenek orang lain ternyata suka memberi uang kepada cucu-cucunya. Nenekku tidak pernah memberi aku uang jajan. Bila menyuruh-nyuruh pun ia tidak membiarkan aku mengantongi uang kembaliannya. Aku tahu nenek tidak punya banyak uang maka aku tidak banyak menuntut dan mengata-ngatainya pelit atau apalah. Jika membeli mie  pangsit, nenek memesan mie polos tanpa pangsit. Belinya selalu sebungkus untuk dirinya saja. Jajan apapun nenek hanya memuaskan dirinya sendiri. Sejauh ingatanku, aku juga tak pernah membelikan sesuatu untudk nenek. Hubungan aku dan nenek jauh dari ikatan kasih sayang.
***

NENEKKU istri muda kakekku. Istri kedua. Dahulu, zaman kakek dan nenekku, cukup banyak wanita menjadi istri muda pria perantauan dari Tiongkok. Orang yang merantau tidak pernah membawa-bawa serta istri dan anak mereka. Tiba di rantau, suratan tangan berbelok ke mana-mana. Usia pria perantau umumnya masih relatif muda dan penuh gairah. Mana tahan tidak menyentuh perempuan dalam waktu lama dan tak ada ujungnya?

Beberapa yang berakhlak rendah masuk-keluar rumah pelacuran dan mengisap opium. Kakekku bermoral tinggi biarpun akhirnya ia meneyerah pada nafsunya sendiri. Ia mencari jalan yang agak bersih dengan mengambil keputusan menikah lagi. Aku yakin nenekku yang mulai menggodanya. Walaupun sudah tua, aku tahu nenek bertulang sedikit genit dari sananya.

Belakangan nenek di Tiongkok tahu bahwa suaminya sudah menikah lagi di perantauan meskipun kakek masih setia mengirimkan uang secara teratur. Mungkin nenek di Tiongkok sakit hati dan sudah memikirkan akan menempuh sebuah jalan sendiri. Pada suatu kesempatan ia menitipkan putrinya, putri sulung kakekku, kepada seorang perantau dari kampung yang sama untuk diserahkan kepada kakek. Kukira kakek orang baik dan bertanggung jawab. Ia membesarkan putri sulungnya secara terpisah. Kakek sudah cukup kaya waktu itu setelah sukses di perantauan. Entah pekerjaan yang dilakukan kakek sebelumnya, hal yang aku ketahui adalah bahwa kakek berdagang ikan asin grosiran. Aku memang tidak tahu banyak sebab kakek meninggal dunia saat aku masih berusia antara 1-2 tahun.  Cerita-cerita aku dengar dari keluarga dan nenek.

Nenek suka bercerita jika tak dapat dikatakan banyak mulut. Setiap kali duduk atau jongkok dan berhadapan dengan orang, ia akan mulai bercerita. Biasanya semua ceritanya menyinggung hal yang bagus-bagus mengenai dirinya dan soal yang jelek-jelek dan aneh-aneh jika menyangkut orang lain.

Sebagai sesepuh, nenek sesekali dikuinjungi sanak keluarga yang lebih muda. Ia senang dihormati tetapi tak segan-segan menyerang orang dengan kata-kata polos. Suatu kali ia mengintip salah seorang kerabat yang bersimpuh mengenakan celana dalam mini dan berkomentar, “Beraninya kau! Pada zaman aku, celana dalam seperti itu hanya dipakai pelacur!” Kontan sang kerabat memerah wajahnya.

Selain cerita sehari-hari yang dibumbuinya, nenek sering pula mendongeng. Tentang Sun Go Kong yang dapat berubah menjadi 72 wujud, tentang kera yang jempolnya lemah sebab jika kuat bisa memegang pisau dan membunuh manusia, tentang tokoh bernama Gong Beng (Beng si Bodoh) yang duduk telanjang di bawah meja untuk menjadi santapan nyamuk agar ayahnya bebas dari gigitan nyamuk, dan lain-lain. Paling heboh bila nenek mendongeng tentang neraka. Orang yang berbohong bakal dipotong lidahnya, (bukan memanjang hidungnya), orang yang berkhianat akan direbus, orang yang mencuri dipenggal tangannya dan diumpankan kepada anjing, dan macam-macam siksaan menurut imajinasi nenek. Tujuannya membuat kami takut dan menjadi anak penurut. Di atas semua itu, tentu kami paling suka mendengar kisah hantu.
***

Kamar nenek seram atau begitulah pendapat aku. Satu-satunya jalan masuk cahaya berasal dari genteng kaca di atap. Pada langit-langit kamar ada bagian yang diberi lempengan kaca sehingga cahaya dari atap tersebut dapat menerobos masuk. Tidak ada jendela sebab kamar nenek berada di bagian dalam rumah. Pada dinding kamar tergantung sepasang lukisan potret kakek dan nenek dalam bingkai oval. Lukisan itu dibuat oleh seniman Belanda yang datang berkeliling dan mengumpulkan foto mereka yang hendak dilukis. Foto-foto yang terkumpul dibawa pulang dan dilukis di negeri Belanda. Setelah selesai ia membawa hasil karyanya kembali ke sini.

Perabot milik nenek hanya sebuah lemari kayu besar tempat ia menyimpan pakaiannya dan seluruh rahasia hidupnya. Aku tidak pernah tahu isi lemari nenek dan tidak ingin tahu. Aku masuk ke kamar nenek biasanya lantaran hendak mengambil sesuatu dari meja belajar kakak yang sejak kecil tidur bersama nenek.

Setelah ia sakit-sakitan aku jarang mendengar l;agi mengenai nenek. Aku sendiri kemudian meninggalkan rumah untuk merantau ke Jawa. Aku tidak merindukan nenek dan aku kira nenek juga tidak peduli padaku. Perpisahan kami seperti sebuah keniscayaan yang pasti terjadi. Suatu waktu aku tahu, pada saat sakit, nenek pernah menuduh adikku mencuri uangnya dari dalam lemari! Aku tidak percaya dan marah. Nenek juga menambahkan bahwa uangnya dipakai adik untuk berjudi. Astaga, orang tua ini mengigau atau berhalusinasi. Fantasinya masih berjalan ke mana-mana ketika ia terbaring lemah. Aku mengenal adikku dan berani berkata bahwa ia tidak mungkin berlaku sejahanam itu. Aku pikir, jika masih ada di rumah, barangkali aku yang akan menjadi sasaran hujatan nenek.

Setelah ibu mempertanyakannya, Bibi Ketiga mengaku bahwa dialah yang mengambil uang nenek. Alasannya, ia khawatir bila nenek meninggal, kami mengambil uang itu. Ia merasa itu uangnya sebab hanya dia yang selalu memberi nenek uang. Sayangnya, ia mengaku setelah nenek meninggal dunia. Bibi Ketiga berkelit bahwa ia tidak tahu nenek menaruh curiga kepada adikku. Nenek senantiasa memuji Bibi Ketiga. Kenyataannya memang Bibi Ketiga sering membelikan nenek sesuatu, hal yang jarang dilakukan anak-anak nenek yang lain termasuk ayah. Selain rokok yang sekali beli 2-3 slop(1 slop isi 20 bungkus), Bibi Ketiga suka membelikan nenek sarung. Nenek memang mengenakan kebaya (yang belakangan aku tahu namanya kebaya “encim”) dan sarung seperti nyai-nyai di Jawa.

tahu, tidak baik bercerita tentang orang yang sudah tiada, apalagi mengenai keburukannya. Aku hanya ingin orang tahu bahwa tidak semua nenek baik. Nenek juga manusia dan ada yang jahat. Mungkin bukan jahat dalam arti suka memukul atau mencaci maki, melainkan tidak menyayangi cucunya dan egois sampai mati. Nenek telah wafat dan dikubur. Aku tidak pernah mengunjungi kuburannya. Tidak ada kerinduan untuk itu.
Bandung, 11 Februari 2011

 (Sumber : Kompas)

Jumat, Juni 22, 2012

Puisi Hanna Fransisca


Kategori  : Puisi

Kambing Guling
100 butir merica. Bawang. Kecap asin. Bara api. Tusuk besi.
Cuka. Garam. Pisau jagal. Kecap manis . Tambang. Kipas angin.
Doa pencabut nyawa. Minyak zaitun.

Engkau pamit pergi ke taman.
Kambing berguling bersama Nani.
“Bunda, pegang bulunya, tak beda dengan beludru.”
“Bukan beludru, sayang, tapi salju pada matanya yang sayu.”

Engkau diam mematung.
Bunga bakung dan rumput jangkung.
Kelopak teratai di kolam mekar, warnanya seperti bulu
di matamu yang sayu. Langit berubah
warna, menjadi sedih menjelang senja.

“Apakah serigala memakan kambing, Bunda?”

Gerimis kenangan menjelma pulau. Seratus danau
di padang rumput, dicipta Tuhan setelah hujan.
Ranting bungur menyediakan rumah
bagi burung, tanah menumbuhkannya bagi damai,
bagi hijau, bagi lumut, bagi air dan rumput.
Lalu Tuhan mencipta keindahan: seekor kambing yang berteduh di bawah cinta.
“Rabalah bulunya, Bunda, putih beludru seperti salju.
Matanya lucu, apakah ini milik Nani?”

Ia menyusu tanah, Nani. Ia tumbuh dari rumput
teki yang senantiasa berbagi.

Tapi langit di sini berubah warna, menjadi sedih
menjelang senja. Engkau memeluk Nani. Nani memeluk kambing.
“Pergilah ke kamar, Nani. Di sini tempat orang dewasa.
Mereka akan segera memulai pesta.”

Nani merajuk, matanya hijau serupa danau,
“Apakah serigala memakan kambing, Bunda?”
Nani di kamar membuka jendela: melihat langit menjelang senja.
Semoga Tuhan menjauhkan Bunda
dari serigala.

100 butir merica. Bawang. Kecap asin. Bara api. Tusuk besi.
Cuka. Garam. Pisau jagal. Kecap manis . Tambang. Kipas angin.
Doa pencabut nyawa. Minyak zaitun.

Jakarta, Mei 2011


Tumis Paru
: Ayah
Seketika Ibu mencicip tumis paru, maka terbukalah dunia baru.
Ayah pamit ke surga, menyalakan dupa
Bagi Dewa yang tak sempat menitip rezeki ketika di dunia.

Tumis paru,
Panas tungku,
harum abu.

Langit mengirimkan iyarat pada sunyi rahasia. Sebatang kecambah tumbuh menjalar,
menggapai hutan tempat burung sendiri,
angsa tanpa kekasih menyanyikan cinta sepanjang hari.

Di laut debur ombak masih terdengar.

Asap jahe, irisan cabe, kentang telanjang ditikam panjang.
Sembilan udang sauna yang dijemput dari dermaga. Pagi ini ia sungguh bahagia,
menitip doa bagi Dewa Dapur yang duduk di tungku dengan ragu.
Di panci yang biasa menanak kangkung dan terasi, berenang paru bersama udang,
bagi sesaji Ayah yang pergi menuju laut.

Angin selalu ada tanpa suara.

Nyala dupa. Harum merica.
Berlayarlah engkau jauh ke langit ungu,
bagi lelaki yang membangun perahu menuju samudra biru.
Jika sempat menyapa Thian, maafkan Ibu di hari itu.

“Udang pertanda petaka umur, lantaran ia berjalan mundur.
Ia racun bagi keluarga papa seperti kita.
Bangkai kepiting bisa jadi terasi, pengisi perut dalam sehari, tapi udang siapa sanggup beli?
Dengar dengarlah anakku, nyanyian genjer yang ditunggu Dewa Tungku,
denting kuali diparut garam, bersama ubi sehari-hari. Dewa Dapur tak pernah ragu,
menyantap dupa dari perih bara. Mereka rindu melihat tawa yang keluar dari air mata.”

Tumis paru,
Panas tungku,
Harum abu.

Di hari kami berlutut.
Di laut debur ombak masih terdengar.
Angin selalu ada tanpa suara.
Bagi Thian Penguasa Surga,
izinkan kami merawat cinta.

Singkawang, April 2011                                                                                                                                                                                                                        


Pada Doa
Tiga batang dupa menyalak – raungan serigala di rimba-rimba.
Tubuhmu langsing menusuk mata.
Harum bagai bunga disingkap angin jelaga.
Aku membenci-Mu diam-diam.
Mabuk dalam gelas arak-Mu.
Tiga cangkir teh menghadap, mengundang
leleh air mata hingga pintu neraka terbuka.

Aku bertandang ke gubuk-Mu yang kumuh, dengtan jiwa rusuh.
Langit gelap, hilang pilar tempatku merayu, meminta mati.
Tambur berdebur menyanyikanlagu takabur.
Jadilah Kau debu!
Jadilah Kau: bara api yang memanggang
Kau sendiri.

Tuhanku,
Dalam tepekur ilalang sunyi, begini muda, gampang terbelah, terkatung-katung.
Ribuan tahun berkelana mencari cahaya-Mu tak juga nemu.
Mencari bulan di telaga, mencari cinta yang ditoreh di pasir-pasir sutra,
o, Kaisar Langit. Hempaskan aku kini
ke dalam batas alam-Mu. Aku yang takabur,
ingin berbaring sunyi hanya pada-Mu
Hanya pada-Mu
Saja.

Jakarta, Mei 2011



Burung Api
Kuizinkan bibirmu memanjat, menjelma pena
Tanpa kata. Kupahat kisah di lekuk cadas,
Sepasang burung api melesat
Menuju rumah kita

Aku panah busur kiamat. Kautarik
garis kencang, umurku melengkung, masuk
di rongga dadamu

Burung api
yang kelak terbakar
sendiri

Jakarta, Mei 2011


 
Hanna Fransisca (Zhu Yong Xia) lahir 30 Mei 1979 di Singkawang, Kalimantan Barat. Kumpulan puisinya,  Konde Penyair Han (2010), mendapat penghargaan sebagai buku sastra terbaik pilihan majalah Tempo 2010. Ia tinggal di Jakarta


(Sumber : Kompas)