Sabtu, Juni 11, 2011

PEREMPUAN YANG TERGILA-GILA PADA IDENYA

Kategori : Cerpen
Oleh       : Ni Komang Ariani


Inilah saat aku menyesal telah menikahi perempuan yang tergila-gila pad aide-idenya. Tidak cukupkah ia menjadi perempuan yang biasa saja, seperti aku suaminya yang merasa cukup hidup sebagai orang biasa. Seharusnya aku tahu perempuan ini akan memilih cara kematian yang indah untuk dirinya sendiri.

Adrenalinku berpacu cepat. Jantungku berdetak dengan irama tak beraturan. Istriku berbaring dengan tubuh kisutnya di ranjang dan aku telah menua  sepuluh tahun dalam waktu sebulan. Uban bermunculan di rambutku seperti jamur di musim hujan. Mereka tumbuh dengan kecepatan yang tidak dapat kuramalkan lagi. Mungkin warna putih itu segera akan menjajah kepalaku. Aku sungguh tidak peduli.

Saat ini aku sudah terlampau marah. Panasnya mendidihkan semua cairan di tubuhku. Aku sangat marah. Aku marah kepada perawat yang begitu bego menerjemahkan perintah dokter, marah pada dokter yang begitu bego mengartikan gejala-gejala penyakit pada tubuh istriku, marah pada rumah sakit yang begitu lambat mengerjakan perintah-perintah dokter, aku marah pada istriku sendiri mengapa tidak merasakan dengan benar gejala di tubuhnya sampai semuanya terlalu terlambat. Aku ingin marah pada teman-teman istriku, teman-temanku sendiri dan sanak saudara yang terasa menambah perih hatiku dengan obrolan mereka, dan pada saatnya mereka akan melemparkan aku sendiri pada kesedihan yang tanpa ujung.

Kepada siapa lagi aku harus marah? Mungkin aku terlalu marah pada diriku sendiri yang tidak pernah dengan benar memperhatikan istriku sendiri. Membiarkannya bekerja tidak mengenal waktu dan membiarkannya menilai sendiri kesehatannya tanpa pernah berusaha menyelidiki sendiri. Bukankah aku sangat tahu bahwa istriku adalah pembohong terbesar dalam kesehatannya. Dalam hidupnya hanya ada kerja, kerja, dan kerja, kesehatan adalah masalah paling buntut yang dipikirkannya. Mungkin lagi-lagi aku harus marah pada diriku sendiri kenapa menikahi perempuan yang demikian. Oh… Aku kehilangan kata-kata. Tiba-tiba aku merasa begitu lelah.

Pernahkah kau menunggui orang yang kau cintai mengerang menahan sakit dan kau merasa kau akan gila bila terus berada di sana. Bagimu udara terasa pengap dan nafasmu sesak. Hatimu hancur detik demi detik melihat keadaannya semakin memburuk. Setiap detik kehancuran menumbuhkan uban di rambutmu dan satu kerut mendalam di wajahmu.

Kadangkala aku ingin pergi meninggalkan istriku begitu saja. Pergi sejauh-jauhnya dan melupakan tubuh istriku yang kelihatan semakin buruk. Apa yang bisa diharapkan dari tubuh kurus tinggal belulang dan jiwa yang tidak lagi sadar pada dunia sekitarnya? Ingin rasanya kunikmati duniaku sendiri yang lebih cerah dan berwarna-warni. Namun gerakan kecil tubuhnya dan lirih erangannya selalu memanggil-manggilku untuk kembali. Tubuh ringkih itu masih menyimpan ketenangan dan kedamaian yang membuatku selalu ingin memeluknya. Kata orang, begitu kau berani mencintai, kau akan dibuat menderita olehnya. Cinta akan membuatmu merasakan luka terperih di hatimu dan ketakutan yang akan mengazab jiwamu. Cintaku padanya membuat aku harus siap untuk hancur berkeping-keping menjadi debu menunggui saat-saat terakhirnya.

Walaupun harus kuakui, belakangan ini kekuatan hatiku seolah-olah menuju ke babak-babak akhir. Aku selalu gemetar ketakutan ketika langkah-langkah dokter mendekat ke ruangan. Kata-kata mereka selalu membuat aku jerih dan nyaliku menciut. Seandainya aku dapat menyihir mereka hilang dari pandanganku, agar mereka tidak pernah datang kembali. Oh, bukankah aku sangat mengharapkan mereka menyembuhkn istriku?

Tahukah engkau, betapa aku membenci bangunan yang bernama rumah sakit ini. Bau kain, bau cat, bau infuse, bau lantai, dan bau udara di rumah sakit ini membuat nafasku tersengal-sengal. Oksigen yang memasuki cuping hidungku seolah sudah tercampur dengan sekerat empedu yang direndam air comberan. Tarikan demi tarikan nafasku terasa melukai paru-paruku. Jika keluar dari tempat ini, aku akan meruwat diriku dan berjanji untuk tidak akan pernah lagi kembali ke sini.

Andai saja aku masih bisa berharap akan keluar dari rumah sakit ini bersama istriku yang sehat dan segar-bugar, dengan pipi tembamnya dan wajahnya yang berkilau. Aku memang harus memupuk harapan itu agar aku sanggup bertahan di sini. Karena tempat ini telah membuat jiwaku mati, tak sanggup lagi mengindera rasa. Pertama kalinya dalam hidupku aku sungguh-sungguh ingin meledak. Meledak membuat jasadku bisa melenting ke tempat yang sejauh-jauhnya, sehingga semua rasa berhamburan dan musnah.

Oh tidak, khayalanku sudah mulai kacau balau. Sungguhkah aku masih waras? Sesungguhnya aku ingin mengistirahatkan jiwaku barang sejenak dan melupakan segala hal tentang istriku sesaat. Rasanya aku ingin mengintip bayanganmu di cermin. Sudah seperti apa rupaku saat ini? Aku selalu menyisir rambutku dalam hitungan detik, tanpa pernah memperhatikan apakah rambutku sudah rapi atau tidak. Seperti apa rupaku sekarang ini? Mungkin aku sudah tampak sebagai tikus dekil yang baru keluar dari got yang kotor. Setidaknya aku pasti sangat mirip dengan burung yang basah kuyup sehabis hujan deras yang mengguyur bumi. Aku gemetar kedinginan dan sayap-sayapku tidak sanggup lagi mengepak ke tempat yang teduh. Ah tidak, ini bukan saatnya untuk melihat wajahku sendiri.

Aku mengarahkan pandanganku kepada tubuh istriku yang sedang tertidur. Mukanya sepucat kain kafan. Batok kepalanya menyisakan sejumput  rambut yang sangat jarang. Tubuhnya begitu tipis seolah tak seorangpun terbaring di sana. Apakah yang masih tersisa di tubuhnya? Aku tertidur lelah di sisi pembaringan.

***

Kabar terakhir yang kudengar dari dokter adalah kabar mengenai riwayat istriku yang menuju babak akhir. Penyakit kanker paru-paru yang menggerogoti tubuhnya sudah sampai pada stadium akhir. Tak ada jenis pengobatan yang sanggup untuk memperpanjang umurnya lebih lama lagi. Oh istriku yang penuh dengan energy. Yang membaktikan seluruh hidupnya untuk menulis  dan membela kaum yang tertindas. Apakah segala nyala yang pernah memancar dari tubuhnya akan padam begitu saja?

Aku masih tidak dapat percaya pada tubuhnya yang lincah seperti kijang tersimpan penyakit yang begitu ganas. Seharusnya aku tahu sejak awal, perempuan yang kunikahi ini adalah perempuan yang akan memilih akhir yang tragis buat dirinya sendiri. Bukankah begitu yang selalu kudengar tentang orang-orang besar? Mereka akan memilih cara mati yang akan membuat mereka diingat dengan perasaan haru. Akan tetapi tidak dengan aku, laki-laki yang menjadi suaminya. Aku akan tetap mengenang kepergianmu kekasih, dalam rasa sakit yang jauh merajam hatiku. Karena jauh di dalam hatiku aku masih ingin meneruskan hidup denganmu hingga di ujung waktu.

Andaikan aku memilih perempuan yang lebih lunak menjadi istriku, mungkin kejadiannya akan berbeda. Barangkali ia akan lebih peka pada penyakit yang meruyak di tubuhnya. Barangkali ia akan segera memeriksakan diri ke dokter ketika ia merasa ada yang ganjil dengan dirinya. Dan segalanya diketahui lebih awal, obat masih sanggup menyembuhkan penyakitnya dan kami masih bisa merajut kebahagiaan bersama. Kami akan menggapai cita-cita kami bersama. Istriku akan tersenyum cemerlang pada keberhasilannya mewujudkan cita-citanya. Aku akan tersenyum bangga untuknya. Mungkin setelah itu kami akan memutuskan untuk menghabiskan lebih banyak waktu bersama-sama, menyesap setiap bulir kebahagian yang menetes dalam kehidupan kami. Karena kadang-kadang waktu melesat seperti kilat dan meninggalkanmu jauh ke belakang.

Kami akan menghabiskan waktu dengan minum kopi tengah malam dan mengobrol hingga subuh. Kami saling memeluk dan memberikan ciuman mesra. Lalu kami akan berpelukan lama sekali seolah tak ada yang dapat memisahkan kami. Gelegak-gelegak tangis tiba-tiba tak sanggup untuk kutahankan lagi. Aku menangis dengan suara yang terasa terpantul-pantul ke seluruh ruang. Aku tidak tahu apakah aku sudah mempermalukan diriku sendiri. Aku tidak tahan lagi. Aku tidak sanggup lagi menunggu saatnya tiba. Karena setiap kali aku mengingat saat itu akan tiba, nyaliku menjadi kerdil, aku gemetar ketakutan membayangkan lorong kesedihan yang menungguku di sana. Aku meraakan rasa sakit yang tak terperikan dari sebuah bolong hitam besar di hatiku. Masih sanggupkah aku menunggu saat itu tiba?

Rasanya aku tidak akan pernah sanggup. Terutama karena aku merasa istriku belum pantas untuk mati. Terlalu banyak hal hebat yang bisa dikerjakannya seandainya ia tidak mati. Aku bahkan masih bisa merasakan gelora semangatnya yang membara sekalipun ia terbaring tanpa daya. Mengapa ia harus padam di saat ia begitu ingin berpendar seperti kembang api. Apa ini yang sungguh bernama takdir?

Istriku memang mempunyai musuh. Ialah orang-orang yang terus-menerus mendapat kritik pedas darinya. Kalaupun ada yang bersorak bahagia sekarang mungkin merekalah orangnya. Mereka dengan penuh dendam bisa saja mengatakan istriku terkena karma. Oh aneh, bukankah merekalah yang harus menerima karma karena istriku orang baik. Seharusnya istrikulah yang bersorak karena satu per satu orang yang dikritiknya itu akan menuai balasan.

Tangisku berubah menjadi sedu-sedan yang masih terdengar keras. Istriku terlelap dalam tidurnya akibat obat-obatan yang mengguyur saraf-sarafnya. Ia tidak akan mendengar suara tangisku, karena bila ia melihatku seperti ini ia akan tertawa terbahak-bahak. Pada saat menahankan rasa sakit yang sanggup mengoyak jantungku pun, tak setetespun air mata meleleh ke pipinya. Istriku adalah perempuan yang tangguh, namun tidak aku suaminya. Entahlah, tangis ini membuat segalanya terasa lebih mudah bagiku. Ada kepedihan yang hanyut bersama dengan tetes-tetes air yang mengguyur daguku.

Sungguhkah ini cara kematian yang diinginkan istriku? Inikah kematian yang diinginkan oleh perempuan yang begitu tergila-gila pada idenya? Barangkali ia ingin mati sebagai martir dari ide-ide yang belum sempat disampaikannya. Barangkali kematiannya pun ia harapkan menjadi sumbu yang mengobarkan api perjuangannya. Tetesan air mataku mongering tepat ketika aku siap melepasnya pergi atau merangkulnya kembali dalam kehidupan. Aku tahu perempuan ini adalah perempuan yang begitu bahagia mencumbui cita-citanya. Demi cintaku padanya aku rela ia memilih.

(Sumber : Kompas)