Sabtu, Mei 07, 2011

Sapardi Djoko Damono

Sebuah hasil wawancara oleh Ilham Khoiri
 BIOGRAFI

Sapardi Djoko Damono
Sapardi Djoko Damono adalah sosok sastrawan Indonesia yang lengkap.  Dia seorang penyair, pengamat sastra, dan pendidik yang tekun – bahkan sempat menjadi birokrat kampus. Hingga kini pada usianya yang ke -70 tahun, lelaki ini tetap aktif berkarya.

Sebagai penyair, Sapardi lebih dikenal lewat puisi-puisi yang bercorak liris. Puisinya dianggap mewakili pengelolaan pikiran dan perasaan yang mendalam. Diksinya sederhana, tetapi tajam; rumit sekaligus halus.

Pertama kali membuat puisi tahun 1957 saat berumur 17 tahun. Tapi, puisinya baru diterbitkan tahun 1958 di Majalah Mimbar Indonesia. Setelah itu sampai sekarang dia terus menulis puisi.

Saat kuliah di Sastra Inggris Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta (tahun 1958-1964), dia berlatih sandiwara, menjadi sutradara, dan bergabung dengan kelompok WS Rendra. Kadang, juga menerjemahkan drama dari sastra Inggris.

Hijrah ke Jakarta tahun 1973 untuk menjadi redaktur Majalah Horison dan mengajar sastra di UI. Baginya, masa itu paling kreatif. Sastra Indonesia bangkit dengan banyak inovasi atau eksperimen.

Buku kumpulan puisinya yang pertama, duka-Mu Abadi, terbit tahun 1969. Sejak awal, bahasa yang digunakannya memang sudah liris, penuh penghayatan perasaan.

Tahun 1974, terbit dua buku lagi, yaitu Mata Pisau dan Akuarium. Dia mengambil bentuk, yang oleh pengamat sastra asal Belanda, Prof. A Teeuw, disebut “belum ada namanya”. Puisi, tetapi mirip dongeng. Benda-benda menjadi hidup, seperti manusia.

Sepuluh tahun kemudian, tahun 1984, baru terbit lagi Perahu Kertas. Karakter puisinya lebih dikendalikan, lebih halus, selain masuk juga hal-hal baru. Banyak imaji masa kanak-kanak.

Tahun 1989, terbit buku Hujan Bulan Juni. Puisinya lebih rapi, menggunakan perlambangan, imaji seperti hujan. Suasananya sendu, tenang.


  • Lahir : Solo, 20 Maret 1940
  • Ayah : Sadyoko
  • Ibu : Sapariah
  • Pendidikan :
    • Sekolah Rakyat Keraton “Kasatriyan”, Solo
    • SMPN II Solo, SMAN II Solo
    • Sastra Inggris UGM, Yogyakarta (1958-1964)
    • Program Doktoral Sastra Universitas Indonesia (lulus tahun 1989)
    • Profesor Bidang Ilmu Sastra UI (1994)
  • Pekerjaan :
    • Guru di Madiun, Solo, dan Semarang.
    • Dosen di Universitas Diponegoro, Semarang
    • Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia
    • Redaktur Majalah Sastra “Horison”, Jakarta (20 tahun, tahun 1973-1993)
    • Dosen di Fakultas Sastra UI, Jakarta (sejak 1973)
    • Dekan Fakultas Sastra UI (1995-1999)
  • Buku (kumpulan sajak) :
    • duka-Mu abadi (tahun 1969)
    • Mata Pisau dan Akuarium (1974)
    • Perahu Kertas (1983)
    • Sihir Hujan (1984)
    • Hujan Bulan Juni (1994)
    • Arloji (1998)
    • Suddenly the Night (1988)
    • Ayat-ayat Api (2000)
    • Mata Jendela (2002)
    • Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002)
    • Kolam (2009)
  • Buku
    (esai, karangan ilmiah)
    :
    • Sosiologi Sastra : Sebuah Pengantar Ringkas (1978)
    • Novel Sastra Indonesia sebelum Perang (1979)
    • Sastra Indonesia Modern : Beberapa Catatan (1983)
    • Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1990)
    • Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999)
    • Sihir Rendra: Permainan Makna (1999)
  • Penghargaan :
    • Cultural Award dari Australia (1978)
    • Anugerah Puisi Putra dari Malaysia (1983)
    • SEA-Write Award dari Thailand (1986)
    • Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1990)
    • Mataram Award (1985)






Banyak orang lebih menyukai puisinya yang liris, seperti tentang hujan dan cinta. Beberapa puisi semacam itu kemudian terkenal, seperti Hujan Bulan Juni atau Aku Ingin.

Puisi itu popular karena ada musikalisasi puisi. Banyak anak muda yang hanya kenal lagu itu.Bahkan, ada orang bikin undangan pernikahan yang memuat sajak itu dengan keterangan karya Kahlil Gibran. Puisi ini juga pernah dibaca artis sinetron di televisi, tanpa tahu siapa pengarangnya.

Sebenarnya puisinya beragam. Tahun 1998, misalnya, dia mengeluarkan buku puisi Arloji, kemudian Ayat-ayat Api (tahun 2000), Mata Jendela (2002), dan Ada Berita Apa Hari Ini, Den, Sastro? (2002). Sebagian puisi di dalamnya bernada protes sebagai respons terhadap suasana pergolakan sosial-politik saat itu, termasuk tentang pembunuhan buruh Marsinah atau pendudukan kantor PDI-P. Namun, yang lebih dikenal orang memang puisi-puisi cinta.

Sosok Sapardi juga lekat dengan dunia pendidikan. Begitu selesai kuliah di UGM tahun 1964, dia bekerja sebagai guru. Lelaki ini pernah menjadi guru Bahasa Inggris di Kursus BI Saraswati, Solo, mengajar Bahasa Inggris di IKIP Madiun, kemudian di Jurusan Inggris Universitas Diponegoro, Semarang.

Pindah ke Jakarta, dia lantas mengajar sastra di UI sejak tahun 1973. Ia kemudian dipercaya sebagai Dekan Fakultas Sastra UI tahun 1995-1999.

Selain itu Sapardi juga dikenal sebagai pengamat sastra. Beberapa esainya kemudian terbit, seperti Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Sastra Indonesia sebelum Perang (1979), Sastra Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1983), dan Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1990).

Sebagai pengamat, seniman ini bisa memetakan perkembangan sastra Indonesia secara lebih jernih karena dia sendiri menjadi bagian dari saksi sejarah sastra selama lebih dari 50 tahun. Teori sastra ditekuni lewat pendidikan akademis hingga tingkat doctoral dan kemudian menjadi guru besar bidang sastra di UI tahun 1994.

Kebutuhan akan sastra itu naluriah. Tak mungkin orang hidup tanpa sastra. Orang tak bisa hidup tanpa dongeng, cerita, atau gossip. Manusia membutuhkan semua itu agar menjadi manusia.
Sastra itu, kan, teks cerita yang tercetak dalam buku. Namun, sebenarnya dongeng itu juga bisa berbentuk audio visual, seperti film atau sinetron. Itu bentuk lain sastra. Bahkan, kitab suci agama juga diturunkan dalam bentuk dongeng, seperti kisah Adam dan Hawa.

Dari dongeng itu, kita memperoleh nilai, mempertanyakan kebenaran, dan menolong kita untuk menemukan diri sendiri.

Sumber : dirangkum dari Kompas