Sabtu, Juni 11, 2011

PEREMPUAN YANG TERGILA-GILA PADA IDENYA

Kategori : Cerpen
Oleh       : Ni Komang Ariani


Inilah saat aku menyesal telah menikahi perempuan yang tergila-gila pad aide-idenya. Tidak cukupkah ia menjadi perempuan yang biasa saja, seperti aku suaminya yang merasa cukup hidup sebagai orang biasa. Seharusnya aku tahu perempuan ini akan memilih cara kematian yang indah untuk dirinya sendiri.

Adrenalinku berpacu cepat. Jantungku berdetak dengan irama tak beraturan. Istriku berbaring dengan tubuh kisutnya di ranjang dan aku telah menua  sepuluh tahun dalam waktu sebulan. Uban bermunculan di rambutku seperti jamur di musim hujan. Mereka tumbuh dengan kecepatan yang tidak dapat kuramalkan lagi. Mungkin warna putih itu segera akan menjajah kepalaku. Aku sungguh tidak peduli.

Saat ini aku sudah terlampau marah. Panasnya mendidihkan semua cairan di tubuhku. Aku sangat marah. Aku marah kepada perawat yang begitu bego menerjemahkan perintah dokter, marah pada dokter yang begitu bego mengartikan gejala-gejala penyakit pada tubuh istriku, marah pada rumah sakit yang begitu lambat mengerjakan perintah-perintah dokter, aku marah pada istriku sendiri mengapa tidak merasakan dengan benar gejala di tubuhnya sampai semuanya terlalu terlambat. Aku ingin marah pada teman-teman istriku, teman-temanku sendiri dan sanak saudara yang terasa menambah perih hatiku dengan obrolan mereka, dan pada saatnya mereka akan melemparkan aku sendiri pada kesedihan yang tanpa ujung.

Kepada siapa lagi aku harus marah? Mungkin aku terlalu marah pada diriku sendiri yang tidak pernah dengan benar memperhatikan istriku sendiri. Membiarkannya bekerja tidak mengenal waktu dan membiarkannya menilai sendiri kesehatannya tanpa pernah berusaha menyelidiki sendiri. Bukankah aku sangat tahu bahwa istriku adalah pembohong terbesar dalam kesehatannya. Dalam hidupnya hanya ada kerja, kerja, dan kerja, kesehatan adalah masalah paling buntut yang dipikirkannya. Mungkin lagi-lagi aku harus marah pada diriku sendiri kenapa menikahi perempuan yang demikian. Oh… Aku kehilangan kata-kata. Tiba-tiba aku merasa begitu lelah.

Pernahkah kau menunggui orang yang kau cintai mengerang menahan sakit dan kau merasa kau akan gila bila terus berada di sana. Bagimu udara terasa pengap dan nafasmu sesak. Hatimu hancur detik demi detik melihat keadaannya semakin memburuk. Setiap detik kehancuran menumbuhkan uban di rambutmu dan satu kerut mendalam di wajahmu.

Kadangkala aku ingin pergi meninggalkan istriku begitu saja. Pergi sejauh-jauhnya dan melupakan tubuh istriku yang kelihatan semakin buruk. Apa yang bisa diharapkan dari tubuh kurus tinggal belulang dan jiwa yang tidak lagi sadar pada dunia sekitarnya? Ingin rasanya kunikmati duniaku sendiri yang lebih cerah dan berwarna-warni. Namun gerakan kecil tubuhnya dan lirih erangannya selalu memanggil-manggilku untuk kembali. Tubuh ringkih itu masih menyimpan ketenangan dan kedamaian yang membuatku selalu ingin memeluknya. Kata orang, begitu kau berani mencintai, kau akan dibuat menderita olehnya. Cinta akan membuatmu merasakan luka terperih di hatimu dan ketakutan yang akan mengazab jiwamu. Cintaku padanya membuat aku harus siap untuk hancur berkeping-keping menjadi debu menunggui saat-saat terakhirnya.

Walaupun harus kuakui, belakangan ini kekuatan hatiku seolah-olah menuju ke babak-babak akhir. Aku selalu gemetar ketakutan ketika langkah-langkah dokter mendekat ke ruangan. Kata-kata mereka selalu membuat aku jerih dan nyaliku menciut. Seandainya aku dapat menyihir mereka hilang dari pandanganku, agar mereka tidak pernah datang kembali. Oh, bukankah aku sangat mengharapkan mereka menyembuhkn istriku?

Tahukah engkau, betapa aku membenci bangunan yang bernama rumah sakit ini. Bau kain, bau cat, bau infuse, bau lantai, dan bau udara di rumah sakit ini membuat nafasku tersengal-sengal. Oksigen yang memasuki cuping hidungku seolah sudah tercampur dengan sekerat empedu yang direndam air comberan. Tarikan demi tarikan nafasku terasa melukai paru-paruku. Jika keluar dari tempat ini, aku akan meruwat diriku dan berjanji untuk tidak akan pernah lagi kembali ke sini.

Andai saja aku masih bisa berharap akan keluar dari rumah sakit ini bersama istriku yang sehat dan segar-bugar, dengan pipi tembamnya dan wajahnya yang berkilau. Aku memang harus memupuk harapan itu agar aku sanggup bertahan di sini. Karena tempat ini telah membuat jiwaku mati, tak sanggup lagi mengindera rasa. Pertama kalinya dalam hidupku aku sungguh-sungguh ingin meledak. Meledak membuat jasadku bisa melenting ke tempat yang sejauh-jauhnya, sehingga semua rasa berhamburan dan musnah.

Oh tidak, khayalanku sudah mulai kacau balau. Sungguhkah aku masih waras? Sesungguhnya aku ingin mengistirahatkan jiwaku barang sejenak dan melupakan segala hal tentang istriku sesaat. Rasanya aku ingin mengintip bayanganmu di cermin. Sudah seperti apa rupaku saat ini? Aku selalu menyisir rambutku dalam hitungan detik, tanpa pernah memperhatikan apakah rambutku sudah rapi atau tidak. Seperti apa rupaku sekarang ini? Mungkin aku sudah tampak sebagai tikus dekil yang baru keluar dari got yang kotor. Setidaknya aku pasti sangat mirip dengan burung yang basah kuyup sehabis hujan deras yang mengguyur bumi. Aku gemetar kedinginan dan sayap-sayapku tidak sanggup lagi mengepak ke tempat yang teduh. Ah tidak, ini bukan saatnya untuk melihat wajahku sendiri.

Aku mengarahkan pandanganku kepada tubuh istriku yang sedang tertidur. Mukanya sepucat kain kafan. Batok kepalanya menyisakan sejumput  rambut yang sangat jarang. Tubuhnya begitu tipis seolah tak seorangpun terbaring di sana. Apakah yang masih tersisa di tubuhnya? Aku tertidur lelah di sisi pembaringan.

***

Kabar terakhir yang kudengar dari dokter adalah kabar mengenai riwayat istriku yang menuju babak akhir. Penyakit kanker paru-paru yang menggerogoti tubuhnya sudah sampai pada stadium akhir. Tak ada jenis pengobatan yang sanggup untuk memperpanjang umurnya lebih lama lagi. Oh istriku yang penuh dengan energy. Yang membaktikan seluruh hidupnya untuk menulis  dan membela kaum yang tertindas. Apakah segala nyala yang pernah memancar dari tubuhnya akan padam begitu saja?

Aku masih tidak dapat percaya pada tubuhnya yang lincah seperti kijang tersimpan penyakit yang begitu ganas. Seharusnya aku tahu sejak awal, perempuan yang kunikahi ini adalah perempuan yang akan memilih akhir yang tragis buat dirinya sendiri. Bukankah begitu yang selalu kudengar tentang orang-orang besar? Mereka akan memilih cara mati yang akan membuat mereka diingat dengan perasaan haru. Akan tetapi tidak dengan aku, laki-laki yang menjadi suaminya. Aku akan tetap mengenang kepergianmu kekasih, dalam rasa sakit yang jauh merajam hatiku. Karena jauh di dalam hatiku aku masih ingin meneruskan hidup denganmu hingga di ujung waktu.

Andaikan aku memilih perempuan yang lebih lunak menjadi istriku, mungkin kejadiannya akan berbeda. Barangkali ia akan lebih peka pada penyakit yang meruyak di tubuhnya. Barangkali ia akan segera memeriksakan diri ke dokter ketika ia merasa ada yang ganjil dengan dirinya. Dan segalanya diketahui lebih awal, obat masih sanggup menyembuhkan penyakitnya dan kami masih bisa merajut kebahagiaan bersama. Kami akan menggapai cita-cita kami bersama. Istriku akan tersenyum cemerlang pada keberhasilannya mewujudkan cita-citanya. Aku akan tersenyum bangga untuknya. Mungkin setelah itu kami akan memutuskan untuk menghabiskan lebih banyak waktu bersama-sama, menyesap setiap bulir kebahagian yang menetes dalam kehidupan kami. Karena kadang-kadang waktu melesat seperti kilat dan meninggalkanmu jauh ke belakang.

Kami akan menghabiskan waktu dengan minum kopi tengah malam dan mengobrol hingga subuh. Kami saling memeluk dan memberikan ciuman mesra. Lalu kami akan berpelukan lama sekali seolah tak ada yang dapat memisahkan kami. Gelegak-gelegak tangis tiba-tiba tak sanggup untuk kutahankan lagi. Aku menangis dengan suara yang terasa terpantul-pantul ke seluruh ruang. Aku tidak tahu apakah aku sudah mempermalukan diriku sendiri. Aku tidak tahan lagi. Aku tidak sanggup lagi menunggu saatnya tiba. Karena setiap kali aku mengingat saat itu akan tiba, nyaliku menjadi kerdil, aku gemetar ketakutan membayangkan lorong kesedihan yang menungguku di sana. Aku meraakan rasa sakit yang tak terperikan dari sebuah bolong hitam besar di hatiku. Masih sanggupkah aku menunggu saat itu tiba?

Rasanya aku tidak akan pernah sanggup. Terutama karena aku merasa istriku belum pantas untuk mati. Terlalu banyak hal hebat yang bisa dikerjakannya seandainya ia tidak mati. Aku bahkan masih bisa merasakan gelora semangatnya yang membara sekalipun ia terbaring tanpa daya. Mengapa ia harus padam di saat ia begitu ingin berpendar seperti kembang api. Apa ini yang sungguh bernama takdir?

Istriku memang mempunyai musuh. Ialah orang-orang yang terus-menerus mendapat kritik pedas darinya. Kalaupun ada yang bersorak bahagia sekarang mungkin merekalah orangnya. Mereka dengan penuh dendam bisa saja mengatakan istriku terkena karma. Oh aneh, bukankah merekalah yang harus menerima karma karena istriku orang baik. Seharusnya istrikulah yang bersorak karena satu per satu orang yang dikritiknya itu akan menuai balasan.

Tangisku berubah menjadi sedu-sedan yang masih terdengar keras. Istriku terlelap dalam tidurnya akibat obat-obatan yang mengguyur saraf-sarafnya. Ia tidak akan mendengar suara tangisku, karena bila ia melihatku seperti ini ia akan tertawa terbahak-bahak. Pada saat menahankan rasa sakit yang sanggup mengoyak jantungku pun, tak setetespun air mata meleleh ke pipinya. Istriku adalah perempuan yang tangguh, namun tidak aku suaminya. Entahlah, tangis ini membuat segalanya terasa lebih mudah bagiku. Ada kepedihan yang hanyut bersama dengan tetes-tetes air yang mengguyur daguku.

Sungguhkah ini cara kematian yang diinginkan istriku? Inikah kematian yang diinginkan oleh perempuan yang begitu tergila-gila pada idenya? Barangkali ia ingin mati sebagai martir dari ide-ide yang belum sempat disampaikannya. Barangkali kematiannya pun ia harapkan menjadi sumbu yang mengobarkan api perjuangannya. Tetesan air mataku mongering tepat ketika aku siap melepasnya pergi atau merangkulnya kembali dalam kehidupan. Aku tahu perempuan ini adalah perempuan yang begitu bahagia mencumbui cita-citanya. Demi cintaku padanya aku rela ia memilih.

(Sumber : Kompas)

Sabtu, Mei 07, 2011

Sapardi Djoko Damono

Sebuah hasil wawancara oleh Ilham Khoiri
 BIOGRAFI

Sapardi Djoko Damono
Sapardi Djoko Damono adalah sosok sastrawan Indonesia yang lengkap.  Dia seorang penyair, pengamat sastra, dan pendidik yang tekun – bahkan sempat menjadi birokrat kampus. Hingga kini pada usianya yang ke -70 tahun, lelaki ini tetap aktif berkarya.

Sebagai penyair, Sapardi lebih dikenal lewat puisi-puisi yang bercorak liris. Puisinya dianggap mewakili pengelolaan pikiran dan perasaan yang mendalam. Diksinya sederhana, tetapi tajam; rumit sekaligus halus.

Pertama kali membuat puisi tahun 1957 saat berumur 17 tahun. Tapi, puisinya baru diterbitkan tahun 1958 di Majalah Mimbar Indonesia. Setelah itu sampai sekarang dia terus menulis puisi.

Saat kuliah di Sastra Inggris Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta (tahun 1958-1964), dia berlatih sandiwara, menjadi sutradara, dan bergabung dengan kelompok WS Rendra. Kadang, juga menerjemahkan drama dari sastra Inggris.

Hijrah ke Jakarta tahun 1973 untuk menjadi redaktur Majalah Horison dan mengajar sastra di UI. Baginya, masa itu paling kreatif. Sastra Indonesia bangkit dengan banyak inovasi atau eksperimen.

Buku kumpulan puisinya yang pertama, duka-Mu Abadi, terbit tahun 1969. Sejak awal, bahasa yang digunakannya memang sudah liris, penuh penghayatan perasaan.

Tahun 1974, terbit dua buku lagi, yaitu Mata Pisau dan Akuarium. Dia mengambil bentuk, yang oleh pengamat sastra asal Belanda, Prof. A Teeuw, disebut “belum ada namanya”. Puisi, tetapi mirip dongeng. Benda-benda menjadi hidup, seperti manusia.

Sepuluh tahun kemudian, tahun 1984, baru terbit lagi Perahu Kertas. Karakter puisinya lebih dikendalikan, lebih halus, selain masuk juga hal-hal baru. Banyak imaji masa kanak-kanak.

Tahun 1989, terbit buku Hujan Bulan Juni. Puisinya lebih rapi, menggunakan perlambangan, imaji seperti hujan. Suasananya sendu, tenang.


  • Lahir : Solo, 20 Maret 1940
  • Ayah : Sadyoko
  • Ibu : Sapariah
  • Pendidikan :
    • Sekolah Rakyat Keraton “Kasatriyan”, Solo
    • SMPN II Solo, SMAN II Solo
    • Sastra Inggris UGM, Yogyakarta (1958-1964)
    • Program Doktoral Sastra Universitas Indonesia (lulus tahun 1989)
    • Profesor Bidang Ilmu Sastra UI (1994)
  • Pekerjaan :
    • Guru di Madiun, Solo, dan Semarang.
    • Dosen di Universitas Diponegoro, Semarang
    • Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia
    • Redaktur Majalah Sastra “Horison”, Jakarta (20 tahun, tahun 1973-1993)
    • Dosen di Fakultas Sastra UI, Jakarta (sejak 1973)
    • Dekan Fakultas Sastra UI (1995-1999)
  • Buku (kumpulan sajak) :
    • duka-Mu abadi (tahun 1969)
    • Mata Pisau dan Akuarium (1974)
    • Perahu Kertas (1983)
    • Sihir Hujan (1984)
    • Hujan Bulan Juni (1994)
    • Arloji (1998)
    • Suddenly the Night (1988)
    • Ayat-ayat Api (2000)
    • Mata Jendela (2002)
    • Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002)
    • Kolam (2009)
  • Buku
    (esai, karangan ilmiah)
    :
    • Sosiologi Sastra : Sebuah Pengantar Ringkas (1978)
    • Novel Sastra Indonesia sebelum Perang (1979)
    • Sastra Indonesia Modern : Beberapa Catatan (1983)
    • Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1990)
    • Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999)
    • Sihir Rendra: Permainan Makna (1999)
  • Penghargaan :
    • Cultural Award dari Australia (1978)
    • Anugerah Puisi Putra dari Malaysia (1983)
    • SEA-Write Award dari Thailand (1986)
    • Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1990)
    • Mataram Award (1985)






Banyak orang lebih menyukai puisinya yang liris, seperti tentang hujan dan cinta. Beberapa puisi semacam itu kemudian terkenal, seperti Hujan Bulan Juni atau Aku Ingin.

Puisi itu popular karena ada musikalisasi puisi. Banyak anak muda yang hanya kenal lagu itu.Bahkan, ada orang bikin undangan pernikahan yang memuat sajak itu dengan keterangan karya Kahlil Gibran. Puisi ini juga pernah dibaca artis sinetron di televisi, tanpa tahu siapa pengarangnya.

Sebenarnya puisinya beragam. Tahun 1998, misalnya, dia mengeluarkan buku puisi Arloji, kemudian Ayat-ayat Api (tahun 2000), Mata Jendela (2002), dan Ada Berita Apa Hari Ini, Den, Sastro? (2002). Sebagian puisi di dalamnya bernada protes sebagai respons terhadap suasana pergolakan sosial-politik saat itu, termasuk tentang pembunuhan buruh Marsinah atau pendudukan kantor PDI-P. Namun, yang lebih dikenal orang memang puisi-puisi cinta.

Sosok Sapardi juga lekat dengan dunia pendidikan. Begitu selesai kuliah di UGM tahun 1964, dia bekerja sebagai guru. Lelaki ini pernah menjadi guru Bahasa Inggris di Kursus BI Saraswati, Solo, mengajar Bahasa Inggris di IKIP Madiun, kemudian di Jurusan Inggris Universitas Diponegoro, Semarang.

Pindah ke Jakarta, dia lantas mengajar sastra di UI sejak tahun 1973. Ia kemudian dipercaya sebagai Dekan Fakultas Sastra UI tahun 1995-1999.

Selain itu Sapardi juga dikenal sebagai pengamat sastra. Beberapa esainya kemudian terbit, seperti Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Sastra Indonesia sebelum Perang (1979), Sastra Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1983), dan Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1990).

Sebagai pengamat, seniman ini bisa memetakan perkembangan sastra Indonesia secara lebih jernih karena dia sendiri menjadi bagian dari saksi sejarah sastra selama lebih dari 50 tahun. Teori sastra ditekuni lewat pendidikan akademis hingga tingkat doctoral dan kemudian menjadi guru besar bidang sastra di UI tahun 1994.

Kebutuhan akan sastra itu naluriah. Tak mungkin orang hidup tanpa sastra. Orang tak bisa hidup tanpa dongeng, cerita, atau gossip. Manusia membutuhkan semua itu agar menjadi manusia.
Sastra itu, kan, teks cerita yang tercetak dalam buku. Namun, sebenarnya dongeng itu juga bisa berbentuk audio visual, seperti film atau sinetron. Itu bentuk lain sastra. Bahkan, kitab suci agama juga diturunkan dalam bentuk dongeng, seperti kisah Adam dan Hawa.

Dari dongeng itu, kita memperoleh nilai, mempertanyakan kebenaran, dan menolong kita untuk menemukan diri sendiri.

Sumber : dirangkum dari Kompas

Jumat, April 22, 2011

AOKIGAHARA

Kategori   :  Cerpen
Oleh          :  Apendi


Tahun demi tahun semakin banyak saja orang Jepang yang bunuh diri di hutan ini. Aokigahara. Tempat favorit bagi mereka yang ingin bunuh diri. Yah…aku tidak akan mengeluh, karena bagaimanapun juga, semakin banyak mereka yang mati berarti pendapatanku semakin bertambah.

Orang Jepang menyebut hutan ini sebagai “hutan bunuh diri” sehingga mau tak mau tak jarang orang berpersepsi keliru mengenai orang-orang yang datang ke hutan ini. Aku datang ke sini bukan sebagai turis entah untuk menikmati pemandangan gunung Fuji di sebelah barat ataupun suasana mistis yang hanya dimiliki oleh tempat dimana ratusan bahkan ribuan nyawa melayang di lokasi yang sama.

Aku datang untuk mencari nafkah. Untuk bertahan hidup. Seperti yang telah kuamati selama ini, malam-malam pada perayaan seperti tahun baru inilah yang biasanya digunakan oleh sebagian orang Jepang untuk mengakhiri nyawanya sendiri. Di tengah tawa dan pesta penduduknya, ada segelintir orang yang mengasingkan diri dan merasa bahwa saat itulah… saat terbaik untuk mengucapkan selamat tinggal pada dunia.

Kupikir aku datang terlalu cepat, tapi ternyata sudah ada klien yang pergi ke dunia sana. Pria itu tergantung pada sebatang pohon dengan menggunakan ikat pinggangnya. Aku memeriksa denyut nadinya dan merasakan mayatnya masih hangat. Aku menunggu satu dua menit karena tidak ingin mengganggu perjalanannya kea lam sana. Setelah itu aku merangkapkan kedua tanganku di depan dada – meniru pengikut-pengikut Buddha yang biasanya sembahyang di kuil-kuil.

“Lima puluh tahun di bawah langit! Lima puluh tahun di bawah langit!” bisikku berdoa.

“Aku tak minta hidup lama-lama. Cukup berikan aku lima puluh tahun di bawah langit saja. Maafkan aku. Aku akan membakar dupa untukmu besok. Aku janji,” doaku khusyuk. Setelah itu aku menurunkannya dan membaringkan mayat pria itu di tanah. Aku mempunyai kode etik untuk selalu mencari tahu nama mayat yang sedang kujarah sebelum mengambil barang-barang peninggalannya. Menurutku adalah suatu hal yang ironis apabila tidak berusaha mencari tahu nama mereka yang sudah mati, padahal selama hidup pun mereka juga diabaikan.

Aku mengeluarkan KTP dari dompetnya, Ken’ichi Matsuyama, 32 tahun. Dua kali lipat dari usiaku. Masih ada delapan belas tahun sisa hidupnya, tapi ia memilih mengakhirinya mala mini. Aku tidak terlalu berharap pada uang tunai klien-klienku karena biasanya kebanyakan alasan mereka bunuh diri adalah karena kekurangan uang. Namun aku terkejut ketika menemukan 58.000 yen di dalam dompetnya. Aku buru-buru mengambil setengahnya dan menyisakan sebagian pada kolegaku yang lain.

Walaupun disebut kolega, sebenarnya kami belum bertemu satu sama lain. Orang Jepang adalah orang yang memiliki kehormatan yang tinggi sehingga mereka merasa amat malu apabila ada orang lain yang mengetahui pekerjaan mereka yang hina ini. Bagi mereka, lebih baik mati daripada harus hidup menanggung aib karena ada orang lain yang tahu bagaimana cara mereka bertahan hidup.

Hal itu kupelajari setelah tanpa sengaja bertemu dengan pemulung lain, seorang bocah berusia 12 tahun yang mungkin disuruh orang tuanya. Bukannya mengancam layaknya binatang buas agar aku tidak mendekati bangkai yang sedang dijarah-nya, dia malah meninggalkan hasil rampasannya dan kabur begitu melihatku.

Di kemudian hari, aku mengetahui dari Koran bekas bahwa bocah itu gantung diri tak lama setelah bertemu denganku. Aku berpikir benarkah bocah seusia itu merasa harus mempertahankan kehormatan keluarganya ataukah kematiannya itupun adalah perintah dari ayahnya yang merasa anaknya sudah membawa aib?

Misteri itu tidak pernah terpecahkan dan aku menyesal harus bertemu dengan bocah itu. Sejak saat itu aku menajamkan pendengaranku dan berusaha membuat sedikit suara setiap kali sedang menjarah. Kami biasanya memberi kesempatan pada yang datang duluan.

Aku mengambil kartu kredit milik Ken’ichi. Tiket kereta api berlangganan, SIM, dan juga jam tangannya. Suara gemerisik rumput di belakangku membuatku bereaksi dan menoleh ke belakang.

“Haaanttuuu,” pekikku tertahan.

Biar kujelaskan. Jangan dulu katakan aku ini pengecut, ok?

Aku sudah terlalu terbiasa melakukan pekerjaan ini sehingga tidak ada perasaan takut dalam diriku untuk bertemu hantu mereka yang bunuh diri. Sebaliknya, seperti yang kuceritakan tadi, aku justru takut bertemu manusia-manusia sepertiku yang berusaha bertahan hidup dari peninggalan mereka yang memilih mati.

Hanya saja gadis itu terlalu cantik untuk seorang manusia. Kecantikan yang kupikir hanya bisa ditiru siluman atau hantu untuk memperdaya manusia. Aku sudah menyiapkan mentalku untuk bertemu setan-setan yang bonyok di wajah dan mengucurkan darah sehingga sama sekali tidak siap memandang kecantikan surgawi yang terpancar dalam diri gadis itu.

Rambutnya yang panjang menjuntai di samping pelipisnya. Dia pun memakai kimono putih yang indah bersulam burung-burung bangau yang terbang ke selatan. Wajahnya tampak dibedaki tipis-tipis dan bibirnya diberi pewarna merah yang menandakan bahwa ia telah beranjak usia akil balig.

“Memalukan sekali!” bibirnya yang mengerucut dan senyum sinisnya itu mengembalikan aku pada dunia nyata.

“Hidup dari jerih payah orang-orang yang sudah mati. Kau benar-benar memalukan!” ulang gadis itu memancing reaksiku.

Aku tahu seharusnya aku berbalik dan kabur seperti yang dilakukan bocah itu dan kembali ke sini esok malam untuk menggantung diri di salah satu pohon. Hanya saja aku bukan orang Jepang dan tidak mempunyai mental orang Jepang meskipun aku mengagumi kebudayaan mereka.

“Mereka mati itu pilihan mereka. Aku hidup itu pilihanku sekalipun dengan cara ini.” Wajahku terbakar rasa malu yang luar biasa ketika mengatakan hal itu.

Gadis itu mengerutkan kening sedikit. Wajahnya terlalu anggun untuk mengekspresikan rasa jijik yang ia rasakan pada diriku sehingga hanya melalui matanya aku tahu ia menatapku dengan hina dan jijik.

Ia tidak berkata apa-apa lagi dan hanya melepaskan giwangnya dan memberikannya padaku. Sebagai penadah barang curian aku tahu giwang hijau itu terbuat dari mutu yang bagus. Aku terlalu sibuk menaksir harganya sehingga tidak menyadari situasi yang sedang kualami.

“Untuk apa ini?” tanyaku seperti orang bodoh.

“Aku tidak ingin kau menjamah tubuhku ketika aku sudah mati. Hanya ini yang kupunyai. Ambillah!” jawab gadis itu.

“Kau tidak bawa uang?” tanyaku spontan.

Gadis itu tergeragap mendengar pertanyaanku yang kurang ajar, tidak manusiawi, dan tidak pada tempatnya. Ia melepaskan kalungnya yang di bandulnya terdapat sebuah kantung kecil.

“Di dalamnya ada sekeping uang logam zaman dulu. Pemberian dari kakekku. Kupakai sebagai jimat dan mungkin cukup ampuh untuk mengusir hantu sepertiku jika kita bertemu lagi.”

Aku berani bersumpah bahwa ia tersenyum kecil sewaktu menyindirku tadi! Jika hujan tidak segera turun, aku yakin sebentar lagi ubun-ubun kepalaku akan mengeluarkan asap.

Aku tak tahu harus berkata apa sehingga aku hanya menganggukkan kepala kepadanya. Dengan raut sedih ia membalas anggukanku dan berbalik menuju jalan yang dipilihnya.

Dua-tiga langkah kemudian ia berbalik kepadaku dan berkata dengan tajam, “Ingat! Jangan menyentuhku atau aku akan menggentayangimu, ok!?” gadis itu mengedipkan matanya padaku.

Aku terlalu percaya takhayul bahwa permintaan orang yang akan meninggal harus dipenuhi dan perintahnya harus dipatuhi sehingga kedipan itu pun tidak dapat membuat hatiku tenang.

Aku ingin mengatakan padanya bahwa aku bukan seorang nekrofil (aku memang tidak terdidik, tapi aku tahu arti kata itu) dan tidak memiliki minat pada mayat yang secantik apa pun – meskipun aku sedikit berharap dia berbuat sedikit kebaikan di akhir hidupnya dengan memberiku kecupan selamat tinggal.

Terakhir kali aku melihatnya, dia sedang berusaha mengaitkan ikat pinggang kimononya pada sebuah cabang pohon. Membentuk sebuah simpul. Aku melayangkan pandanganku dengan sedih dan berbalik berjalan di jalan kehidupan yang sulit.

“Kosong adalah isi. Isi adalah kosong,” aku berjalan terhuyung-huyung seperti orang mabuk berusaha tampak bijak dan arif seperti pendeta-pendeta tao zaman dulu.

“Pertemuan adalah perpisahan. Akhirku adalah permulaanku,” ceracauku tak jelas. Sedetik setelah itu, aku dikejutkan sedemikian rupa oleh gadis itu yang tiba-tiba muncul di depanku sehingga aku terlompat mundur beberapa langkah ke belakang.

“Bagaimana bisa? Tadi kau di belakangku!” kataku padanya. Gadis itu tersenyum. Senyum yang manis dan menghanyutkanku.

“Aku mengenal hutan ini lebih baik darimu.”

“Ta-tapi…,” aku hendak protes sewaktu gadis itu merapatkan bibirnya pada bibirku. Rasanya basah, dingin dan hmm… tak bisa kujelaskan.
Lidahku kelu sehingga tak dapat menanyakan untuk apa ciuman itu.

“Mengapa kau tidak berusaha menyelamatkanku?” tanyanya merajuk padaku.

“Aku, aku tidak tahu kau ingin diselamatkan. Kupikir kau memang sudah berbulat hati memilih jalan itu.”

“Kauu jahattt!” ia memukulkan tangannya yang kecil pada dadaku dan merebahkan kepalanya pada pundakku.

Aku membelai rambutnya yang halus. “Kau tidak jadi mati?” tanyaku, lagi-lagi salah ucap. Kugigit lidahku.

“Kau ingin aku mati?” dia tiba-tiba menarik kepalanya dan menatapku dengan serius.

“Bu, bukan begitu! Maksudku, aku bingung apa yang membuatmu mengubah keputusanmu?”

Air matanya bergulir sewaktu dia menjawab pertanyaanku.

“Tidak ada yang peduli padaku,” katanya. Seumur hidupku tidak ada yang peduli padaku. Aku ingin ada seorang saja yang peduli padaku jika aku berusaha bunuh diri.”

Sorot matanya tampak seperti anak kucing yang tercebur di sungai dan minta pertolongan. Tanpa sadar aku telah mengulurkan tangan untuk merengkuhnya dan mendekapnya dalam pelukanku.

“A-aku peduliii…,” kataku dengan gugup dan malu.

“Benarkah?” matanya menatap lekat padaku, seolah sedang mencari jejak-jejak kebohongan.

“Ya,” jawabku pendek untuk mengukuhkan suatu komitmen.

Gadis itu tersenyum dan membenamkan wajahnya di bahuku. Tangannya mencari tanganku dan menggenggamnya. Kemudian tiba-tiba ia membuka telapak tanganku dan mengambil giwang dan kalung miliknya.

“Kau sudah memiliki aku, jadi tak membutuhkan ini!” katanya seraya melemparkan benda-benda miliknya itu ke dalam hutan. Apakah dia sedang berusaha menghapus masa lalunya? Entahlah.

Malam itu kami berjalan bergandengan tangan dan aku merasa jalan pulang yang kulalui telah berubah dan membentuk sebuah cabang baru. Sebuah perasaan aneh dalam diriku membuatku berbalik dan menatap hutan Aokigahara – yang entah kenapa kurasakan untuk yang terakhir kalinya. Hutan yang telah menelan banyak korban. Bahkan orang-orang asing dari benua Eropa pun tertarik dengan keeksotisan hutan ini dan memilih mengakhiri hidupnya di sini.

Mungkinkah hutan ini sudah insaf dan ingin bertobat? Ataukah kisahku hanya salah satu dari sedikit cerita yang belum dikonsumsi umum bahwa disamping meminta banyak kematian, hutan ini juga mampu memberikan kehidupan?

Entahlah. Aku tidak tahu dan aku tidak yakin dengan tapak langkahku di jalan baru ini. Aku tidak yakin hutan ini dapat menghidupi kami berdua. Atau bertiga.

Aku harus mencari pekerjaan lain.

~o~

(Sumber : Kompas)